News  

Kelingking Jangan Jadi GWK Kedua

Bali, Balijani.id| Kelingking sedang berdiri di persimpangan sejarah. Setiap hari ribuan orang datang, ribuan foto diunggah, dan ribuan kali nama Bali disebut dunia. Namun ketika berbicara soal pengelolaan, justru muncul pertanyaan yang memalukan. Mengapa ikon sebesar ini hampir saja jatuh ke skema privat yang mirip GWK. Dimana aset budaya akhirnya menjadi barang dagangan saham?
Kasus perusahaan lift yang ditutup Provinsi Bali karena pelanggaran bukan sekadar insiden teknis. Itu adalah alarm keras yang menunjukkan bagaimana pihak swasta bisa masuk menguasai ruang publik, memungut manfaat ekonomi, sementara beban ekologis, keselamatan, serta kerusakan sosial justru ditanggung masyarakat lokal dan pemerintah.

Privatisasi keindahan, kolektivisasi kerugian

Bali pernah punya pengalaman pahit, Garuda Wisnu Kencana (GWK). Kini dikelola sepenuhnya oleh pihak swasta, PT Alam Sutra. Aset sebesar itu sebagai ikon budaya secara teori bisa kapan saja berpindah tangan kepada entitas lain, bahkan perusahaan asing, hanya lewat transaksi saham. Pertanyaannya sederhana, siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan jangka panjang?
Jawabannya jelas, pemodal. Bukan desa adat, bukan Pemprov, bukan masyarakat Bali.
Risiko itu kini mengintip Kelingking: sebuah bentang alam sakral, warisan leluhur, yang tiba-tiba didorong ke arah pengelolaan swasta. Padahal Kelingking bukan patung, bukan gedung, bukan taman hiburan. Kelingking adalah lanskap hidup yang telah dijaga warga jauh sebelum investor mengenal istilah sunset point.
Data menunjukkan, rata-rata 2.000–2.500 wisatawan datang setiap hari. Sekitar 600–1.000 orang ingin turun ke pantai. Bayangkan dengan tiket resmi Rp100.000 per orang saja, potensi pendapatan mencapai Rp70 juta per hari, atau lebih dari Rp25 miliar per tahun.
Uang sebesar itu jika dikelola dengan benar dibagi kepada desa adat, Pemkab Klungkung, dan Provinsi Bali akan menciptakan model pariwisata yang adil. Bukan pariwisata yang membuat warga lokal hanya kebagian macet, sampah, dan risiko evakuasi.
Maka, pertanyaan utamanya adalah, masuk akalkah menyerahkan aset alam seliar dan sesakral Kelingking ke mekanisme privat, setelah kita melihat apa yang terjadi pada GWK?
Jika pengelolaan jatuh ke desa adat bersama Pemkab, transparansi bisa dijaga, distribusi manfaat bisa dirasakan, dan arah pembangunan bisa dikendalikan. Tidak akan ada cerita pembangunan melanggar garis suci, tidak ada proyek tergesa-gesa, dan tidak ada ruang publik dijadikan mesin pencetak uang bagi segelintir pihak.
Akal sehat harus menuntut satu sikap tegas. Kelingking harus dikelola desa adat dan pemerintah daerah, bukan diprivatisasi.
Bali tidak boleh kehilangan satu lagi aset penting hanya karena tergoda kilau proposal investasi. Kelingking bukan milik investor. Kelingking adalah milik sejarah, milik adat, milik masyarakat yang menjaganya dengan keringat dan keyakinan. Dan Bali tidak boleh lagi jatuh pada kesalahan yang sama menjual masa depan demi keuntungan sesaat.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *