Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
Opini  

Pancasila Dalam Perspektif Kristen

Caption : Dr. Simon Kasse: Dosen Institut Agama Kristen Negeri Kupang

Oleh, Dr. Simon Kasse: Dosen Institut Agama Kristen Negeri Kupang

Nusa Tenggara Timur, Balijani.id,-
Pengantar Perayaan
Hari Lahir Pancasila di tahun 2022, Presiden RI berkunjung ke Ende-NTT sekaligus sebagai pemimpin Upacara Hari Lahir Pancasila. Ada makna dibalik perkunjungan Bapak Presiden RI, yaitu “sejarah” jangan melupakan sejarah sebab peristiwa masa silam bukanlah suatu mukjizat tetap ada tokoh yang memiliki karisma dalam membentuk bangsa yang besar ini. Tokoh yang dimaksud adalah Bung Karno. Dari sejarah kita bisa menyimpulkan bahwa tidak mudah mendirikan suatu bangsa yang tegak berdiri seperti yang kita nikmati saat ini, tetapi banyak pendahulu yang berkorban nyawa, tempat, waktu, biaya di masa silam.

Karena itu sebagai orang yang beragama tetapi Ber-Tuhan, pertama-tama kita mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugerah-Nya melalui para pemimpin bangsa untuk secara resmi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai perayaan hari lahirnya Pancasila. Tahun 1945 ketika Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU PKI) 77 tahun yang silam, yang belakangan kita kenal sebagai “Pidato lahirnya Pancasila.” Bung Karno adalah penemu Pancasila, walaupun melalui perdebatan yang cukup lama seperti yang diuraikan dalam sejarah lahirnya Pancasila.

Kemudian diakui sebagai salah satu pilar dari keempat pilar kebangsaan yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar ini harus terus-menerus direvitalisasi agar kita tidak kehilangan visi. Indonesia menjadi negara yang kuat dan kokoh apabila memiliki 4 pilar sebagai visi, sebaliknya tampak visi, ancaman terus melilit bangsa dan negara sehingga rakyat tidak nyaman di rumah Indonesia. Pernyataan ini juga ditegaskan dalam Alkitab (Amsal 29:18)) “Di mana tidak ada visi, maka rakyat akan binasa.”

Perayaan Pancasila di tahun 2022 ini, kita menyadari bahwa jiwa kita jiwa Indonesia, jiwa kita bernafas Pancasila. Jiwa adalah letak nafas kehidupan, tetapi tampa jiwa tidak ada tanda kehidupan, ada kematian, artinya Indonesia tidak bisa dipahami tanpa Pancasila.

Pancasila adalah identitas bangsa dan negara Indonesia. Atau Indonesia adalah Pancasila, Pancasila adalah Indonesia.
Pancasila dalam Perspektif Kristen
Manusia adalah makhluk yang berfisik tetapi juga makhluk yang ber-Tuhan karena itu memiliki pengetahuan dan pendalaman secara iman Kristen terhadap Pancasila, ini tidak berarti kita mengkultuskan Bung Karno sebagai penemu Pancasila, tetapi nilai-nilai Pancasila membentuk dan mempersatukan bangsa dan negara Indonesia.

Seperti pernyataan awal tulisan ini bahwa pertama-tama harus ditegaskan bahwa negara dan bangsa ini adalah anugerah Tuhan. Negara dan bangsa yang awalnya belum ada sekarang tegak berdiri diatas pentas sejarah dunia yang kipranya mendunia. Kita beriman bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan bangsa ini sebagaimana juga ditegaskan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Karena itu, tidaklah perlu kita ragu-ragu untuk mengatakan bahwa Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnua adalah anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila apabila direlevansikan dengan isi Alkitab memiliki keterkaitan. Kitab Ulangan 6:1-25), selanjutnya disempurnakan oleh Yesus (Matius 22:37-40) juga terefleksi dalam Pancasila. Itulah pancaran Kasih Tuhan dalam konteks Indonesia. Sila Ketuhanan yang Maha Esa mengacu secara vertikal kepada Tuhan, sedangkan sila-sila lainnya adalah aplikasi praktis secara horinzontal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perspektif inilah yang mesti diintegrasikan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
Kalau kita menilik sejarah kekristenan di Indonesia (Buku Sejarah: Van den End dan penulis lainnya) sejak Kolonial sampai pada era kemerdekaan, kita tidak pernah menemukan catatan bahwa umat Kristen menolak Pancasila. Sebaliknya umat Kristen Indonesia mendukung Pancasila secara gigih dan konsisten.

Hal ini terunkap dalam berbagai dokumen keesaan gereja, salah satunya adalah dokumen keesaan gereja PGI (2014-2019:64) tentang “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) dengan menegaskan bahwa “kita bersyukur bahwa bangsa dan negara Republik Indonesia didasarkan pada Pancasila.

Pancasila bukan sekedar modus vivendi (cara hidup bersama) melainkan juga sebagai “rumah bersama” yang memungkinkan tegaknya Negara dan terwujudnya bangsa ini sebagai Keluarga Besar Indonesia. Pemahaman inilah PGI terus memberi penegasan sebagaimana diuraikan secara lengkap oleh Yewangoe dalam berbagai tulisan yang selalu menegaskan agar Pancasila dijadikan asas tunggal di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hal ini dilakukan karena ada relevansi nilai-nilai Pancasila dengan ajaran Kristen. Bukan berarti Pancasila menggantikan Yesus Kristus sebagai dasar Iman Kristen tidaklah demikian. Dalam 1 Kor. 3:11 jelas sekali rumusan itu: “Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus”. Pada pihak lain, hasil sidang PGI di Jayapura 1986 merumuskan temah “Yesus Kristus sebagai dasar gereja” dan “Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Tema ini selanjutnya dicantumkan dalam Tata Dasar PGI pasal 5 dirumuskan pernyataan sebagai sikap penerimaan terhadap Pancasila itu sebagai berikut “Atas dasar pengakuan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Tata Dasar dimaksud, gereja-gereja mengakui Pancasila sebagai asas bermasryarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dasar inilah yang kemudian diimplementasikan oleh seluruh gereje-gereja yang bernaung di bawah PGI dalam menanggapi berbagai persoalan sosial politik sesuai konteks masing-masing gereja. Kalau kita mendalami butir-butir Pancasila ternyata sangat terintegral dalam “Hukum Kasih”: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, ”dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:37-39; bdg. Ul. 6:5). Hukum kasih inilah tercermin dalam Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bung Karno berbicara mengenai orang-orang Indonesia yang bertuhan, Tuhannya sendiri. Negara juga, kata Bung Karno, hendaknya bertuhan. Hal bertuhan itu diungkapkan dalam keberagaman yang berkeadaban, saling menghormati. Tidak disebutkan disini Tuhan yang spesifik dari agama tertentu. Memang begitulah maksud Bung Karno, tidak menonjolkan satu agama saja di Indonesia, karena memang bangsa kita menganut berbagai agama.

Dengan demikian sila pertama, menyiapkan ruang semua agama untuk mengisinya. Dengan kata lain, semua agama menjadi setara, dalam bingkai RI sebagaimana semboyan dokumen keesaan gereja “RI sebagai rumah bersama”. Rumah yang mempersatukan kita sebagai keluarga Indonesia.

Karena itu Bung Karno menjadikannya sebagai prinsip “Persatuan Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia, kita tidak sekedar hidup berkelompok-kelompok, atau sekedar sebuah kawanan sebagaimana lazimnya pada dunia binatan, tidak! Persatuan yang diperikat oleh Ketuhanan Yang Esa. Selanjutnya Bung Karno merumuskan sila 3: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Inilah prinsip demokrasi Indonesia yang memberikan penekanan penting pada prinsip musyawara dan mufakat. Walapun kata demokrasi bukanlah bagian dari Alkitab karena tidak tertulis persis sama, tetapi nilai-nilai demokrasi terasimilasi dalam Alkitab. Dalam prinsip kelima, Bung Karno menekankan bahwa “tidak ada kemiskinan di dalam negara Indonesia”. Prinsip ini kemudian dirumuskan sebagai: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tentang keadilan sosial, kelihatannya Alkitab sangat kaya.

Di Alkitab merefleksikan keadilan Allah sendiri. Dunia juga mengenal prinsip keadilan. Akan tetapi Alkitab tidak hanya berbicara mengenai keadilan yang membagi-bagikan, dan keadilan yang membalaskan,. Akan tetapi Alkitab juga berbicara mengenai keadilan yang menciptakan ruang atau peluang sehingga yang lemah memperoleh kemampuan untuk berdiri sendiri. Dengan demikian, si lemah tadi memperoleh harkat dan martabatnya sebagai manusia yang Ber-Tuhan.

Dari penjelasan- penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa prespektif Pancasila dalam Kristen ternyata tak dapat dipisahkan dari kehidupan kekristenan Indonesia, sebab nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Kristen. Iman Kristen justru secara kontekstual diekspresikan melalui niai-nilai Pancasila.

Salam Pancasila sebagai rumah kita sebagai keluarga besar Indonesia.

Jitro/020 NTT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *