Opini Oleh.
Dr. Simon Kasse, M.Pd.K, Dosen IAKN Kupang
Nusa Tenggara Timur, Balijani.id,-
Secara bahasa manusia berasal dari kata ‘manu’ (Sansekerta) , ‘mens’ (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi. Karena itu manusia adalah mahluk yang berkeinginan untuk berkembang setiap waktu demi mewujudkan suatu kesejahteraan baik secara jasmani dan rohani dimasa kini dan masa yang akan datang.
Dorongan inilah dituangkan dalam perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang selalu menjadi tolok ukur untuk membangun peradaban hidup. Sehingga peradaban menjadi ciri khas dari manusia sebagai mahluk sosial yang membentuk komunitas untuk ketahanan hidup dalam bermasyarakat, sebab eksisnya suatu peradaban tak terlepas dari tantangan yang wajib dihadapi untuk beradaptasi menuju perubahan.
Yang dimaksud dengan tantangan yang ancaman kehidupan manusia bersumber dari bidang-bidang sosial: ekonomi/kemiskinan, pendidikan, politik, agama, dan budaya. Tantangan juga bersumber dari perubahan alam: iklim yang berubah misalnya musim kemarau yang yang lama sehingga terjadi kekeringan, begitupun curah hujan yang kurang. Perubahan alam ini juga berdampak pada perubahan sistem kerja di bidang pertanian, peternakan, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia. Ini membutuhkan sikap pemerintah dan lembaga-lembaga komunitas sosial, termasuk gereja secara lembaga untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan yang produktif sebagai solusi untuk menggerakan kesejahteraan hidup warga gereja juga warga masyarakat.
Bicara mengenai persoalan yang dihadapi oleh warga gereja khususnya persoalan tentang ekonom tidak menjadi hal yang baru di masa kini karena telah direspon oleh pemerintah di tingkat pusat atau nasional, sampai ditingkat propinsi Nusa Tenggara Timur, tingkat Kabupaten, sampai pada pemerintahan desa di wilayah terpencil. Persoalan ini penting untuk disikapi, sebab ditingkat nasional, NTT dikategorikan sebagai propinsi termiskin dan terbelakang. Karena itu warga gereja yang dalam dimensi sosial adalah warga masyarakat sudah lama berupaya untuk menciptakan ekonomi yang mandiri sehingga terwujudnya warga gereja yang sejahtera secara jasmani dan rohani, namun belum menyentuh akar permasalahannya.
Istilah “Ekonomi” berasal dari dua kata Yunani yaitu oikos yang berarti rumah atau rumah tangga dan nomos yang berarti aturan. Oikonomia (ekonomi) berarti mengatur/penatalayanan atau manajemen rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tentu saja secara mandiri. Istilah yang dipahami dari konsep “kemandirian ekonomi” adalah kemandirian dalam perspektif ekonomi mencakup dua hal, yaitu suatu kondisi di mana keluarga sebagai basis masyarakat tercukupi kebutuhan hidup dan memiliki harga diri sebagai manusia karena kebutuhannya dapat dipenuhi dengan semua kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki.
Realitas kemiskinan di NTT terus meningkat dengan adanya “stanting”. Persoalan ini dilatar belakangi oleh menguatnya faktor kemiskinan yang dimensional, sehingga menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat yaitu melalui kunjungan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo di Kabupaten TTS. Konsep kemiskinan memiliki jangkauan yang luas sehingga perlu disikapi oleh berbagai pihak: Pemerintah TTS, Pihak kesehatan, Budaya, dan Gereja dengan segera melakukan inovasi dalam program pelayanan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Sikap Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang
Berdasarkan gambaran tentang kondisi ekonomi di wilayah Propinsi NTT tersebut IAKN Kupang melalui Tim PKM Program Studi Pendidikan Agama Kristen dalam mengimplementasi Tridharma, memilih untuk melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di daerah terpencil yang bertema: “Pembangunan Jemaat Terpencil” di GMIT Efata Oetfo Wilayah Mella Klasis Amanatun Timur. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk mendorong dan membimbing warga jemaat untuk secara kreatif dan inovasi mengembangkan kreatifitas di bidang pembangunan ekonomi. Jemaat wilayah terpencil belum mandiri karena masih hidup dalam lilitan kemiskinan. Karena itu kemandirian jemaat harus dipahami sebagai sebuah keluarga atau rumah tangga yang benar-benar sejahtera.
Makna tentang pembangunan jemaat tidak akan sempurna atau pincang apabila di persempit atau di batasi pada aspek kerohanian dalam bentuk KPI atau ibadah. Tetapi berbicara tentang pembangunan Jemaat apalagi di wilayah terpencil haruslah holistik /menyeluruh dengan menyentuh setiap aspek yaitu pembangunan fisik/jasmani dan aspek pembangunan Iman/Rohani. Dua aspek kunci inilah akan menjadi acuan untuk gereja dalam merancang program-program yang relevan untuk menjawab konsep pembangunan jemaat di wilayah terpencil. Program yang relevan berkaitan dengan bidang: ekonomi, politik, budaya, agama, dan lainnya sebagai indikator untuk mencapai kesejahteraan warga jemaat.
Implementasi bidang tersebut sebagian dapat diterjemahkan oleh TIM PKM melalui kegiatan-kegiatan yang dicantumkan dalam jadwal kegiatan selama 3 hari yaitu materi penguatan dan pembangunan ekonomi jemaat, materi tentang pembangunan iman jemaat, dan pembagunan sarana tempat ibadah. Bagi Penulis khususnya bidang kerohanian menjadi hal yang penting, karena warga jemaat telah lama beribadah sehingga aspek ini terpelihara dengan baik. Tetapi akan mengalami kepincangan apabila aspek fisik tidak diperhatikan, karena itu Tim lebih menekankan tentang aspek fisik baik dari sarana peribadahan maupun aspek pembangunan ekonomi warga.
Strategi gereja GMIT dalam membangun kekuatan ekonomi jemaat terpencil.
Berdasarkan gambaran mengenai realitas sosial pada sektor ekonomi sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal yang sangat integral dengan warga jemaat yang adalah warga masyarakat, kita tentunya bertanya: bagaimana peran gereja? apakah gereja harus memikirkan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh jemaatnya? Atau gereja terus menggumuli untuk menghantarkan jemaatnya hidup kekal diakhirat tampa memperhatikan realitas kekinian? Menurut Penulis, gereja juga terpanggil untuk ikut mensikapi berbagai persoalan sosial ekonomi, sosial politik disekitar kehidupan jemaat.
Gereja juga mesti memiliki kepekaan dan berkomitmen yang ulet dalam upaya pemberdayaan sosial ekonomi jemaat supaya dengan sendirinya keluar dari balutan kemiskinan yang melilit keberadaan jemaat. Karena itu Penulis, menguraikan sejumlah strategi yang hendak dilakukan oleh gereja baik secara lembaga, gereja secara persekutuan jemaat, serta gereja secara individual/pribadi, antara lain:
1. Hendaknya gereja membangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga mitra untuk menggerakkan ekonomi jemaat di daerah terpencil umumnya dan khusus GMIT, strategi ini sudah lazim dilakukan yaitu melalui: Yayasan Alfa Omega (YAO) dan komunitas sosial lainnya yang memiliki kiprah yang besar di masa lalu untuk memberikan bimbingan, menggerakkan memfasilitasi jemaat dalam rangka pemberdayaan ekonomi. Apakah masih eksis hingga hari ini? Sebab warga jemaat GMIT banyak yang tinggal di desa-desa terpencil dimana tidak dijangkau oleh komunitas pemberdayaan dan penguatan ekonomi jemaat yang relevan.
2. GMIT mestinya memperdayakan potensi-potensi yang ada di jemaat. Secara geografis wilayah pelayanan GMIT memiliki alam yang subur untuk berkontribusi bagi kehidupan dan kesejahteraan. Misalnya di jemaat GMIT Efata Oetfo: memiliki hasil bumi berupa: kemiri, pisang, kelapa, pinang, hewan (ayam, sapi, babi) potensi-potensi inilah perlu dikembangkan sehingga menjadi sumber pendapatan jangka panjang dalam jemaat.
3. Gereja harus membangun strategi dengan berkolaborasi dengan pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan sebagai penghubung ke wilayah terpencil, sebab infrastruktur jalan menjadi indikator bagi percepatan putaran ekonomi. Sebab sesuai pengamatan di wilayah terpencil banyak hasil alam yang tidak bisa diangkut ke daerah perkotaan atau ke pasaran. Dan apabila tidak dilakukan maka akibatnya terjadi penyumbatan ekonomi dan berdampak pada mubasir hasil alam khususnya hasil pertanian dalam masyarakat.
4. Strategi yang ketiga adalah gereja memfasilitasi terbentuknya institusi ekonomi pada level jemaat di wilayah terpencil. Institusi yang dimaksud adalah: pembentukan koperasi atau sejenis agar warga berkesempatan untuk menyimpan uang dan meminjam uang sebagai modal usaha.
5. Pengembangan Teologi Sosial. Ini dimulai dari pemimpin gereja yang mulai berpikir kreatif untuk mengembangkan pola pelayanan yang bersifat sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Lima bentuk strategi pembangunan ekonomi jemaat tersebut apabila dilakukan dengan baik maka akan terwujudnya pertumbuhan ekonomi secara meningkat di jemaat terpencil sehingga aspek kemandirian jemaat benar-benar mandiri. Kemandirian disini tidak saja dilihat dari jumlah jemaat, tetapi bagaimana mengelola dan membangun kehidupan ekonomi jemaat untuk mandiri. Pembangunan di bidang ekonomi jemaat dan pembangunan Iman jemaat menjadi fondasi untuk membangun tubuh Kristus secara utuh dalam dunia.
Dengan demikian tercapailah pemerataan pembangunan ekonomi di daerah terpencil dengan daerah perkotaan yang sama-sama menikmati kesejahteraan. Putaran ekonomi akan semakin meningkat dan merata antara daerah terpencil dan daerah perkotaan sehingga tidak ada pola piker/stiqma yang bersifat diskriminatif “seakan-akan masyarakat daerah terpencil” adalah mereka yang sangat miskin dan tak berdaya dalam segala bidang, dan masyarakat kota adalah mereka yang telah mengalami kesejahteraan, berintelektual, dan memilik kekayaan yang banyak.
Editor : Jitro002/NTT