Buleleng ( Bali ), Balijani.id ~ Dipilihnya pembangunan gedung sekolah menengah atas negeri (SMAN) Bali Mandara di Kabupaten Buleleng pada era Gubernur Mangku Pastika bukan tanpa sebab.
Pasalnya melihat sejarah dulu Buleleng sebagai kota pendidikan, diharapkan dengan kehadiran sekolah itu dapat memberi nilai tambah akan sebutan Buleleng sebagai Kota Pendidikan di Bali. Sangat disayangkan ketika terjadi pergantian Gubernur Bali hal itu menjadi hisapan jempol.
Gede Pasek Suardika (GPS) menyorot tajam, keberadaan SMAN Bali Mandara yang peruntukkannya untuk pelajar masyarakat miskin dibekukan pemerintah provinsi Bali dan kondisinya pun kini dikabarkan berada di ujung tanduk.
Ia menuding semua itu dampak dari dinamika kebijakan politik bukan lantaran tidak ada dana APBD sehingga tidak dianggarkan.
“Seharusnya ini (SMAN Bali Mandara, red) bisa mengubah icon Buleleng sebagai Kota Pendidikan. SMAN Bali Mandara mewakili itu, dengan posisi menjadi sekolah biasa inilah karya bapak Wayan Koster yang harus diingat sepanjang masa menjadi antitesa dari Bapak Mangku Pastika sebagai perintis dan ia (Koster) sebagai perusak,” singgung Pasek Suardika kepada wartawan di Buleleng, Minggu (26/11/2023)
Ia menyesalkan, apa yang terjadi dengan SMA Bali Mandara salah satu mahakarya destruktif dari bapak Wayan Koster selaku Gubernur Bali bertentangan dengan janji kampanyenya. Dimana dikatakan akan ditambah, tapi penambahan menurut Koster adalah melakukan penghilangan.
“Ke duanya orang Buleleng ada yang membangun dan ada yang merusak ini harus menjadi perhatian bagi masyarakat. Ini bukan urusan uang tanggung jawab Pemprov hanya sebatas SMA dan SMK serta SLB. Ini adalah tangung jawab Gubernur, karena SD SMP menjadi tangung jawab Pemkab dan Pemkot,” pungkasnya
Masalahnya lanjut Pasek Suardika, Ini ada yang alergi dengan nama Bali Mandara serta keberhasilan gubernur sebelumnya. Jangan bicara masa depan jika kita tidak perhatian pada pendidikan. Pihaknya mengaku sudah pernah mengusulkan kalau trauma dengan nama Bali Mandara agar diganti dengan nama lebih netral, tapi sistemnya dipertahankan dan jumlah sekolahnya ditambah.
“Konyol sekali dimana SMAN dengan segudang pencapaian diberangus dengan alasan anggaran padahal tanggung jawab provinsi hanya pada SMA SMK dan SLB, tetapi pemerintah lebih memilih membuat bangunan apalagi dengan cara berhutang dan dibayar per bulan,” tutup Pasek Suardika.
[ BJ/TIM ]