Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks

Monolog Butet Kartarajasa

Jakarta, Balijani.id ~ Dalam acara puncak perayaaan Bulan Bung Karno di Stadion Utama GBK, Sabtu [24/6] lalu, seniman Butet Kartarajasa menyinggung sejumlah hal. Ia bicara banjir, sekaligus menyindir pihak yang menyebut banjir sebagai ‘air yang markir’. Butet lantas menyebut tokoh yang menyatakan demikian sebagai orang yang pandir

Kemudian, Butet menyampaikan pantun dan menyinggung perihal sosok yang sedang dipantau oleh KPK, tapi mengaku tengah dijegal.

Selain itu, monolog Butet juga membahas calon presiden pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, capres pilihan Jokowi adalah sosok berambut putih dan pekerja keras.

Selanjutnya Butet berujar Indonesia akan bersedih jika presiden terpilih adalah tukang culik.

Walaupun Butet tidak spesifik menyampaikan identitas sosok yang disindir, monolog Butet turut mengundang respons dari sejumlah politisi, contohnya Gerindra dan NasDem.

Tak hanya Gerindra dan NasDem yang merespon monolog Butet tersebut. Bahkan PDI Perjuangan selaku pemilik acara juga menyayangkan uneg-uneg politik ala Butet yang dinilai kurang elok.

Ketua DPP PDI-P, Djarot Syaiful Hidayat, menganggap monolog di GBK akhir pekan lalu, kurang elok, dan menodai tema yang diangkat ‘kepalkan tangan persatuan’.

Sebagai orang awam, dan tidak terlibat politik, saya turut mengelus dada. Tak salah memang Butet mengungkapkan uneg-uneg politik melalui monolog, karena memang raja monolog. Namun, ketika disampaikan di panggung ‘politik’ jelang pilpres, apalagi menyenggol capres lainnya, rasanya kurang tepat. Alangkah lebih elok disampaikan di tempat yang lain yang lebih elegan, tentu akan lebih elok.

Jika kita melihat tentang ‘Indonesia’ adalah negeri luhur yang memiliki keragaman budaya serta adat istiadat yang kuat, dan telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan. Banyak produk budaya hasil karya cipta leluhur kita di masa lampau, yang bisa menjadi rujukan kita untuk senantiasa eling dalam menjalani tugas hidup ini. Termasuk dalam menyampaikan sesuatu agar tidak menyinggung orang lain.

Masyarakat kita, di Indonesia pada umumnya, sering menyampaikan pesan-pesan melalui pendekatan budaya, atau pesan-pesan kehidupan lainnya seperti yang diisyaratkan leluhur kita, namun ketika pesan itu sudah bermuatan ‘politik’ energi budaya itu pun sirna.

Pesan-pesan kehidupan melalui pendekatan budaya, hanya bisa ditangkap dengan penghayatan dan pemahaman murni oleh pemangku budaya itu sendiri. Penghayatan dapat dicerna sebagai falsafah hidup, bila cara menghayatinya dalam konteks wawasan.

Pemaknaan pesan-pesan tersebut sangat membantu bila terdapat kemampuan filosofis dan kedalaman batin yang arif untuk memperoleh nilai-nilai luhur universal yang bisa diterima dengan nyaman, untuk kemudian mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kekayaan budi pekerti yang telah diwariskan secara turun temurun itu melahirkan satu bangsa yang kuat dan berbudi luhur dalam merepresentasikan sikap dan keteguhan bangsa Indonesia walaupun untuk menjadi bangsa yang besar diperlukan falsafah dan idiologi yang kuat dan berbudi pekerti yang luhur.

Kebudayaan adalah hasil olah cipta batiniah dan ekspresi gerak manusia dalam kerangka struktur multidimensional, yang pada akhirnya akan bermuara dan bersumber kepada Sang Pencipta. Pesan kehidupan, melalui budaya akan tercermin dari sikap welas asih, cinta kasih.

Itulah pesan utama kebudayaan, karena kebudayaan dibangun untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta menjadi kekuatan moral dan kekuatan sosial dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setiap warga negara republik ini, pastinya merindukan Indonesia yang seutuhnya. Indonesia yang luhur budi pekertinya, damai, dan benar-benar mencerminkan Indonesia. Tetapi kerinduan itu seakan sirna, jika kita mendapati ungkapan saling ejek sesama anak bangsa, menjadi tanda bahwa aroma persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara nyaris hanya menjadi wacana saja. Selebihnya, sebagian pihak memandang orang lain sebagai musuh, ironis, betapa kearifan sebagai ruh budaya luhur bangsa ini sudah punah.

Kejadian-kejadian ini paradoks bukan saja rusuh menjauh dari rasa damai. Ini juga menjadi antiklimaks lantaran sesama warga telah memandang orang lain sebagai yang pantas dicurigai dan dimusuhi. Faktor pertama dan utama adalah lemahnya pemikiran, hilangnya rujukan nilai. Mudah ditunggangi kepentingan kepentingan politilk. Ini membuat warga begitu mudah terprovokasi.

Selain itu sebagian pihak telah melakukan depolitisasi yang menyebabkan warga tidak memahami politik dengan benar. Lemahnya pemikiran ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan rasa Bhineka Tunggal Ika yang mendedahkan persatuan.

Inilah yang seharusnya direnungkan bersama agar siapapun di republik ini berfikir jangka panjang berguna lebih massif dan mengindonesia.

Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus menyadari bahwa Indonesia, adalah sebuah bangsa dan Negara yang besar yang telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang, bahkan ribuan tahun yang lalu, eksistensi manusia yang menempati gugusan pulau di antara ( Nusa – antara, Nusantara ) dan benua ( Asia dan Australia ) dan dua Samudera ( Hindia dan Pasifik ), sudah eksis dan telah melahirkan peradaban yang sangat besar.

Kebesaran kita, sebagai sebuah bangsa, kini mulai dipertanyakan kembali. Hal ini terlihat, dengan mulai lunturnya nasionalisme kita, memudarnya komitmen kebangsaan kita. Dan rasa senasib, sepenanggungan kita dalam rumah besar Indonesia, mulai terkoyak. Sebagai anak bangsa, kita nyaris tidak percaya kepada kekuatan diri sebagai suatua bangsa, kita seakan tidak dapat berdiri sebagai bangsa yang merdeka.

Namun di tengah perjalanan bangsa ini, masih terselip keprihatinan kita sebagai bangsa yang berbudaya. Kita melihat di media sosial, masih banyak perdebatan yang cenderung memecah belah persatuan dan kesatuan, hal ini menunjukkan masih rendahnya akan sikap menghargai perbedaan dan keberagaman. Persoalan ini menjadi masalah yang tak kunjung usai, di tengah derasnya arus globalisasi, dan kebebasan berbicara melalui media sosial. Atas dasar asumsi tersebut, maka hendaknya perlu digaungkan kembali sebuah kesadaran untuk menghargai antar sesama.

Keberagaman, merupakan sebuah perbedaan antara satu individu dengan individu yang lain. Keberagaman juga bisa diartikan, sebagai kesediaan dalam menerima perbedaan yang ada di masyarakat, termasuk cara bertutur, berucap, agar tidak menodai dan saling menyakiti. Nilai-nilai seperti ini, telah lenyap.

Dalam perspektif menghargai keberagaman, terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami antara lain toleransi, tanggung jawab sosial, interdependen atau sikap saling membutuhkan dan apresiasi terhadap keragaman budaya.

Dari kasus ujaran kebencian karena perdedaan cara pandang di media sosial, harus menjadi pembelajaran bagi kita semua, agar berhati-hati dalam bersikap maupun berucap, apalagi sebagai seorang tokoh publik. Apabila aspek-aspek tersebut tidak dimiliki, seorang individu, kemungkinan juga tidak akan memiliki rasa respect dan saling menghargai antar satu sama lain.

Negara kita, Indonesia, merupakan negara yang terdiri dari beragam pulau, beragam suku, beragam agama, beragam adat, sosial ekonomi, maupun kebudayaannya. Keberagaman tersebut, hendaknya dapat menyatukan kita seluruh anak bangsa, sebagai modal pembangunan integritas bangsa. Bukan malah menjadi pemicu konflik dan perselisihan yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kita dapat memetik sebuah filosifi permainan musik orchestra, dimana banyak terdapat beragam jenis alat musik. Namun, apabila kita mampu memainkan dan memadu padankan alat-alat music tersebut dengan seirama dan harmonis, maka akan menghasilkan harmoni music yang begitu indah.

Penulis : D Supriyanto Jagat N

Editor : Nyoman Sarjana

*) Pekerja Budaya, penikmat kopi pahit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *