Catatan : Dr. Hendrawan Saragi
Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah
Jakarta, Balijani.id ~ Setiap tanggal 1 Mei, banyak negara, termasuk Indonesia, memperingati Hari Buruh, sebuah momen yang bermakna untuk menghormati perjuangan pekerja. Hari ini bukan sekadar hari libur, tetapi juga simbol perjuangan panjang pekerja di abad ke-19 yang berjuang demi hak -hak dasar: jam kerja yang wajar, upah yang cukup untuk hidup layak, dan lingkungan kerja yang tidak membahayakan nyawa.
Kondisi Tenaga Kerja Hari Buruh menjadi momen penti ng untuk merefleksikan kondisi tenaga kerja di Indonesia. Data ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2024 menunjukkan dinamika yang signifikan dalam struktur tenaga kerja nasional. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia kerja mencapai 215,37 juta orang, naik naik sebanyak 1,37 juta orang (0,64%) dari Februari 2024. Angkatan kerja bertambah 2,73 juta orang menjadi 152,11 juta orang, sementara bukan angkatan kerja berkurang 1,36 juta orang menjadi 63,26 juta orang. Ada sebanyak 60,81 juta orang (42,05 persen) bekerja pada kegiatan formal. Jumlah penduduk yang bekerja meningkat
1,73% menjadi 144,64 juta orang, dengan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu 40,76 juta orang (28,18%) sementara lapangan usaha Pengadaan Listrik, Gas,Uap/Air Panas, dan Udara Dingin paling sedikit menyerap tenaga kerja, yaitu sebanyak 0,36 juta orang (0,25%). Namun, jumlah pengangguran juga naik 0,27 juta orang menjadi 7,47 juta orang, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat menjadi 4,91%. Persentase setengah pengangguran naik sebesar 1,32%, sementara pekerja paruh waktu turun sebesar 0,46%.
Bila dilihat dari peningkatan angkatan kerja sebesar 2,73 juta orang (1,83%) menunjukkan respon pasar tenaga kerja terhadap peluang ekonomi. Bisa jadi hal ini didorong oleh insentif seperti kenaikan upah atau pertumbuhan sektor tertentu.
Peningkatan tenaga kerja dan formalisasi menunjukkan dinamika pasar yang positif karena formalisasi tenaga kerja sering kali dikaitkan dengan perlindungan hukum, akses ke kredit, dan stabilitas ekonomi. Formalisasi ini perlu dilihat juga apakah merata di semua wilayah atau hanya terkonsentrasi di perkotaan. Meskipun jumlah pekerja meningkat, angka produktivitas apakah lebih tinggi atau hanya mencerminkan inflasi tenaga kerja tanpa nilai tambah ekonomi yang signifikan.
Kenaikan pengangguran sebesar 0,27 juta orang dan TPT menjadi 4,91%mencerminkan tantangan dalam menyerap tambahan angkatan kerja. Kemungkinan ada potensi ketidaksesuaian keterampilan atau hambatan regulasi, seperti upah minimum yang tinggi atau birokrasi yang mempersulit penciptaan lapangan kerja. Hal ini menimbulkan potensi ketegangan sosial jika pengangguran, khususnya di kalangan pemuda, tidak ditangani.
Kenaikan setengah pengangguran mengindikasikan ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, mungkin akibat regulasi yang menghambat penciptaan pekerjaan penuh waktu atau kurangnya informasi tentang peluang kerja. Penurunan pekerja paruh waktu bisa mencerminkan preferensi pekerja untuk pekerjaan penuh waktu, tetapi juga bisa menunjukkan hilangnya fleksibilitas akibat kebijakan ketenagakerjaan. Hilangnya fleksibilitas bagi pekerja tertentu, seperƟ ibu rumah tangga atau pelajar, yang lebih memilih pekerjaan paruh waktu. Bisa juga banyak pekerja, terutama di wilayah pedesaan, tidak mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas atau kebutuhan mereka karena menurunnya peluang ekonomi di pedesaan akibat urbanisasi dan globalisasi, hilangnya pekerjaan musiman di sektor pertanian, yang sering menjadi sumber pendapatan tambahan bagi keluarga petani.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyerap 40,76 juta orang dapat mencerminkan kekuatan keunggulan komparatif wilayah tertentu, tetapi juga bisa menandakan distorsi pasar (misalnya, subsidi pertanian) yang menghambat alokasi tenaga kerja ke sektor yang lebih produktif. Fakta bahwa sektor pertanian menyerap 28,18% tenaga kerja menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi alokasi sumber daya, dimana ketergantungan pada sektor primer menunjukkan kurangnya diversifikasi ekonomi, yang dapat menghambat produktivitas jangka panjang dan wilayah pedesaan rentan terhadap fluktuasi ekonomi global jika tidak diimbangi dengan investasi di sektor teknologi atau industri. Juga ada ketimpangan antara sektor pertanian dan sektor modern seperti pengadaan listrik/gas, yang hanya menyerap 0,36 juta orang.
Solusi Dalam konteks hari Buruh perjuangan pekerja harus diarahkan pada penciptaan peluang ekonomi bukan hanya tuntutan kenaikan upah atau perlindungan serikat. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
Pertama, gunakan Hari Buruh untuk mengakui kontribusi pekerja pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan kebijakan yang memudahkan akses ke kredit, teknologi, dan pasar bagi petani. Juga mendorong program pelatihan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri modern untuk mengurangi setengah pengangguran dan mendukung diversifikasi ekonomi. Peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian mungkin menunjukkan bahwa wilayah pedesaan masih bergantung pada ekonomi tradisional. Perlu dilakukan investasi dalam pendidikan dan infrastruktur dan akses internet untuk mendorong diversifikasi ekonomi di wilayah tersebut, sehingga mengurangi ketergantungan pada sektor
primer. Kebijakan populis, seperti subsidi besar-besaran untuk sektor pertanian, dapat juga menciptakan distorsi pasar dan menghambat inovasi.
Kedua, mengurangi regulasi ketenagakerjaan yang kaku, seperti upah minimum yang tidak realitis, yang dapat menghambat penciptaan lapangan kerja, terutama di wilayah pedesaan.
Ada tantangan yang dihadapi pekerja di sektor ini seperti regulasi lingkungan yang ketat, biaya Input yang tinggi, pajak tinggi atau aturan birokrasi yang rumit.
Ketiga, mempromosikan etos kerja dan produktivitas, bukan hanya menuntut hak, dengan menyoroti pentingnya penciptaan nilai ekonomi oleh pekerja. Hindari narasi yang mempromosikan ketergantungan pada intervensi pemerintah, dan tekankan bahwa kesejahteraan pekerja bergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan dinamika pasar.
Sebagai penutup, di setiap Hari Buruh, para pemimpin kita dengan lembut menyanyikan ode untuk pekerja, seolah-olah tangan welas asih pemerintah selalu mengayomi kesejahteraan kita. Namun, dengan penuh kelembutan, kita diundang untuk menyumbang kepada kas publik sebelum kita sisihkan untuk kebutuhan seperti santapan, pakaian, atau tempat berteduh. Perhatikanlah slip gaji kita, di mana angka “kotor” bercahaya dalam kemuliaan,
sebelum dengan halus dipangkas menjadi angka “bersih” yang lebih sederhana. Kita sudah terbiasa melihat angka itu hilang setiap bulan, sampai-sampai kita hampir lupa betapa besar dampaknya. Kita mungkin dengan naif menoleh pada pemberi kerja, namun sesungguhnya pemerintahlah yang dengan cekatan mengelola sebagian upah kita melalui pajak penghasilan yang penuh perhatian. Hari Buruh, dengan segala kemeriahannya, mengundang kita untuk menghargai kerja keras—sambil dengan lembut mengingatkan bahwa sebagian buah usaha kita telah dialihkan untuk tujuan yang lebih mulia. Mari kita sambut hari buruh ini dengan senyum, merenungi betapa kita berbagi kemakmuran dengan begitu murah hati.
[ Editor : Sarjana ]