Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
News  

Selama Kurikulum Pendidikan Terus Berganti, Dipastikan Arah Pendidikan Makin Tidak Jelas

Denpasar, Balijani.id ~ Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali saat ini adalah I Nyoman Suwirta, S.Pd., MM sambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025.

Mengingat begitu pentingnya dunia pendidikan dimasa depan untuk generasi muda, justru yang masih menjadi kendala saat ini adalah mengenai Kurikulum.

Karena setiap pergantian pemimpin selalu saja dibarengi dengan bongkar Kurikulum, atau pergantian Kurikulum baru.

“Hal ini sudah terus berjalan, dan kesanya tidak ada mempertahankan Kurikulum. Malahan yang terjadi adalah perubahan Kurikulum saja yang tidak memiliki nilai maupun manfaat dalam dunia pendidikan,” kata Nyoman Suwirta, Rabu (30/4/2025).

Sembari menyampaikan, para akademisi dalam merealiasikan Kurikulum juga sudah menentukan arah pendidikan jangka panjang dengan sasaran dan target yang jelas, yang kemudian di breakdown jadi program jangka pendek dan menengah.

“Namun ketika terjadi peralihan kepemimpinan lagi dirubah Kurikulum ke yang baru yang belum tentu hasilnya memiliki nilai maupun manfaat yang baik dalam dunia pendidik,” ucap mantan Bupati Klungkung ini.

Lanjut dikatakan, pendidikan merupakan barometer kemajuan sebuah bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan suatu bangsa dapat dinilai dari kemajuan pendidikannya.

Apalagi pendidikan memiliki peran penting dalam menciptakan generasi menuju visi Indonesia Emas 2045.

Karena banyak tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan visi Indonesia Emas 2045, namun demikian, pendidikan di Indonesia saat ini masih menyelesaikan beberapa persoalan yang terkait dengan kualitas antara lain mengenai Kurikulum.

Selanjutnya, mengenai masih rendahnya skor literasi membaca dan numerasi (literasi matematika) peserta didik Indonesia sebagaimana tercermin dalam hasil Programme for International Student Assessment (PISA).

Dimana data PISA sendiri menunjukkan bahwa literasi dan numerasi peserta didik Indonesia masih berada di bawah rata-rata peserta didik internasional (Matematika: 472, Sains: 485, Membaca: 476).

“Sementara Indonesia sendiri berada di peringkat 68 dari 81 negara dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371),” imbuhnya.

Nyoman Suwirta menjelaskan, permasalahan ini diakibatkan adanya kesenjangan efektivitas pembelajaran antar sekolah, dan antar daerah di Indonesia.

Jika dibandingkan kualitas pendidikan di perkotaan dengan kualitas pendidikan di perdesaan, kualitas pendidikan di perdesaan tidak sebaik kualitas pendidikan di perkotaan.

“Karena hal tersebut diakibatkan adanya kesenjangan fasilitas pembelajaran antara di perkotaan dan dipedesaan,” jelasnya.

Sembari menjelaskan lagi mengenai akses informasi yang dirasakan masih kesulitan, dimana akses informasi yang terbatas bagi siswa yang berasal dari perdesaan terutama siswa yang berasal dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Dengan adanya kesenjangan tersebut, wajarlah pemerataan kualitas pendidikan belum tercapai.

“Selain itu juga masalah lainya yang terjadi adalah mengenai Kurikulum yang terus saja dirubah yang tidak sesuai dengan nilai maupun manfaat dalam dunia pendidikan,” katanya.

Sembari menambahkan, pemerataan kualitas pendidikan diperparah lagi dengan arah pendidikan yang tidak jelas. Sejatinya arah pendidikan kita kemana?

Ketidakjelasan ini dapat dicermati dari pergantian menteri dibarengi dengan pergantian kebijakan. Hal ini akan mengakibatkan kegamangan pada satuan pendidikan.

“Penerapan Kurikulum 2013 yang belum tuntas terutama bagi satuan pendidikan yang berada di daerah 3T sudah diganti dengan Kurikulum Merdeka,” tambahnya.

Nyoman Suwirta juga menyampaikan, selama ini diyakini belum semua guru memahami Kurikulum 2013 tetapi kurikulum sudah diubah menjadi Kurikulum Merdeka. Akankah Kurikulum Merdeka akan berubah lagi?

Salah satu paradigma yang terjadi pada tingkat pendidikan tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah meluncurkan paradigma baru untuk menggantikan Kampus Merdeka menjadi Kampus Berdampak.

Gerakan Kampus Berdampak merupakan bentuk aktualisasi nilai-nilai luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu “Dengan ilmu kita menuju kemuliaan, dengan amal kita menuju kebajikan.’’

Paradigma ini mengimplikasikan bahwa hasil kajian yang dilakukan oleh peneliti dari perguruan tinggi dapat diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat.

Apakah dengan perubahan paradigma ini, hasil kajian yang dilakukan oleh para ahli dari perguruan tinggi diakomodasi oleh pemerintah?

Banyak temuan ahli Indonesia diimplementasikan di luar negeri karena hasil kajiannya kurang mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.

“Ganti paradigma harus dibarengi dengan aksi nyata sehingga Kampus Berdampak benar-benar berdampak bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

[ Reporter : Budi ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *