Jakarta, Balijani.id ~ Dalam dinamika sistem pertahanan negara yang terus berkembang, peran dan posisi militer dalam bingkai konstitusi kerap menjadi perbincangan hangat. Isu seputar hubungan sipil-militer, penegakan supremasi sipil, serta kejelasan garis komando pertahanan menjadi sorotan, terutama di tengah upaya reformasi sektor keamanan yang berkelanjutan.
Garis komando dalam struktur pertahanan negara harus tegas, tidak boleh tumpang tindih, dan sepenuhnya berpijak pada prinsip demokrasi serta supremasi sipil. Hal ini dijelaskan oleh Kabais TNI 2011–2013, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, saat diwawancarai awak media di Jakarta, Jumat (18/4/2025).
“Dalam sistem pertahanan negara yang demokratis, tidak boleh ada ambiguitas antara pembuat kebijakan dan pelaksana operasional di lapangan. Garis komando harus tegas,” tegas Ponto.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang dinilainya sudah mengatur relasi kewenangan antara Menteri Pertahanan dan Panglima TNI secara jelas.
“Menhan bertugas menetapkan kebijakan strategis, termasuk soal anggaran, pengadaan, hingga pembinaan industri pertahanan. Sementara Panglima TNI bertanggung jawab atas operasional militer, kesiagaan pasukan, dan profesionalitas prajurit,” jelasnya.
Namun menurut Ponto, kejelasan ini kini terancam kabur dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU TNI yang baru justru memperluas ruang lingkup Menhan. Frasa ‘pemeliharaan dan/atau perawatan’ masuk ke dalam koordinasi Menhan. Ini beririsan langsung dengan tugas Panglima,” ungkapnya.
Berpotensi Timbulkan Dualisme
Mantan Kabais TNI ini menilai, penambahan frasa tersebut bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, bahkan konflik dalam praktik pertahanan nasional.
“Kalau alat utama sistem persenjataan (alutsista) rusak, siapa yang bertanggung jawab? Kalau dua pihak merasa punya wewenang, maka garis komando akan kabur. Ini berbahaya,” katanya.
Menurutnya, situasi tersebut bisa berakibat fatal dalam situasi darurat, di mana kecepatan dan ketegasan pengambilan keputusan adalah kunci.
“Bayangkan bila keputusan teknis lapangan harus menunggu sinkronisasi birokrasi antara dua lembaga. Di medan perang, itu sama saja bunuh diri,” ujarnya.
Solusi Bukan PP, Tapi Revisi UU
Menanggapi wacana penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai solusi, Ponto menyatakan hal itu tidak tepat secara hukum.
“PP tidak bisa memperbaiki pertentangan dua undang-undang. Itu justru pelanggaran terhadap UU No. 12 Tahun 2011. Satu-satunya solusi adalah revisi UU TNI atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Ia menegaskan, pertahanan negara bukan ruang kompromi birokratis, melainkan panggung yang menuntut kejelasan, kecepatan, dan ketegasan.
“Saat kita bicara pertahanan, kita bicara soal nyawa bangsa. Kita tidak bisa membiarkan aturan hukum yang membingungkan dan membuka celah konflik tanggung jawab,” kata Ponto.
Seruan Tegas: Harmonisasi dan Kembali ke Prinsip Awal
Sebagai penutup, Ponto menyerukan agar negara segera mengambil langkah korektif dengan merevisi UU TNI dan menegaskan kembali prinsip hubungan sipil-militer.
“Kita harus kembali ke roh awal: Menhan sebagai pembuat kebijakan, Panglima sebagai pelaksana operasional. Itulah cara demokrasi menjaga tentara profesional. Dan itu pula cara bangsa ini berdiri kokoh di tengah ancaman,” pungkasnya.
[ Reporter : Dwikora A.S ]