0leh : I K. Satria
Penyuluh Agama Kementerian Agama Kabupaten Buleleng, Ketua PHDI Desa Adat Pedawa
Bali, Balijani.id ~ Ada beberapa hari Suci Hindu yang berlangsung bersamaan, hal ini karena perhituangan hari suci didasarkan oleh perhitungan satu tahun wuku yang lamanya 210 hari dan perhitungan sasih yang datangnya setahun sekali (tahun kabisat 366 hari dan tahun biasa 365 hari). Tentu saja dalam kurun waktu tertentu, hari suci dengan kedua perhitungan dewasa ini akan bertemu (subadewasya). Dan pertemuannya pun bisa disebut langka.
Dengan langkanya pertemuan hari suci Nyepi dan Tumpek Wariga yang bersamaan ini tentu ada makna yang bisa kita peroleh untuk dijadikan makna dan pesan bahwa ada yang perlu untuk kita sadari atas segala perilaku beragama kita di alam ini. Bahwa setiap hari suci memiliki makna filosofis tersendiri, ada yang memang untuk alam, untuk kita sebagai manusia dan bisa saja untuk keduanya. Jadi, memadukan kebermaknaan itulah bisa jadi merupakan pesan untuk kita, dalam melakukannya. Nyepi tahun baru saka 1947 jatuh pada tanggal 29 Maret 2025 yang bertepatan dengan perhitungan tahun wuku, saniscara kliwon wuku wariga. Pada saniscara kliwon wuku wariga ini adalah hari besar yang digunakan untuk memuja Dewa Sangkara, yaitu manifestasi Tuhan sebagai penganugerah kebaikan terhadap sarwaning tumuwuh (tumbuh-tumbuhan).
Nyepi sebagai perayaan tahun baru saka, bukan sekedar pelaksanaan Tahun Baru, tetapi juga sebagai awal yang maha hebat dari pemikiran leluhur kita untuk memaknai anugerah dengan cara bersyukur tanpa batas. Ada hal unik yang bisa kita lihat pada nyepi tahun ini, Sunya dan kemurnian dalam nyepi, ditambah dengan pemuliaan akan tumbuh-tumbuhan berlangsung dalam sehari, ini artinya keharmonisan itu sangat diwujud nyatakan oleh hari suci. Hal ini mesti diikuti oleh pola laku kita sebagai umat agar melakukan dan juga mewujud nyatakan hari suci ini kedalam aksi nyata, ujungnya adalah untuk keharmonisan itu setidaknya terencana, terlaksana dan hasilnya bisa kita nikmati.
Menelisik hari suci Tumpek Wariga dalam teks kita, bisa ditemukan pada lontar sundarigama yaitu : Wariga Saniscara Keliwon ngaran puja kertinira Sang Hyang Sankara, apan sira umerdiaken sarwa ning tumuwuh, kayu-kayu kunang, widi widania peras, tulung, sesayut, tepung bubur mwang tumpeng agung, iwaknia guling dadi, patikwenang, saha raka, penyeneg tetebus, kalingania anguduh ikang tanem tuwuh, asetana sekar awoh agodong, dadiya urip ikang sarwa janma. Artinya : Pada hari Sabtu Keliwon Wariga disebut Tunpek Panguduh, pemujaan terhadap Sang Hyang Sankara, beliaulah yang menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan seperti berbagai jenis kayu-kayuan, upacara-upakaranya terdiri dari : Peras, Tulung. Sesayut, Bubur tepung dan Tumpeng agung memakai daging guling dilengkapi dengan jajan dan buah-buahan, penyeneng tetebus, dipakai sarana untuk menyuruh semua jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat berdaun, berbunga dan berbuah yang lebat untuk membantu kehidupan semua manusia.
Dalam untaian lontar ini, kita bisa mengambil makna bahwa tumpek wariga adalah permohonan kita kepada Dewa Sangkara untuk kebaikan tumbuh-tumbuhan agar mampu menjadi sumber kehidupan mahluk khususnya manusia sebagai mahluk yang paling utama. Terpenuhinya kehidupan manusia dan mahluk lainnya oleh tumbuh-tumbuhan merupakan ciri dari kesejahteraan akan kita peroleh, sebab tumbuhan bukan hanya sebagai sumber makanan tetapi juga sumber perekonomian dengan komoditi yang sangat komplek untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Kuncinya adalah kesejahteraan. Sebab jika sejahtera, maka hidup akan terus bergerak menuju tujuannya. Hal lainnya adalah bahwa tumpek warga adalah hari suci untuk menyambut hari Suci Galungan yaitu 25 hari sebelum galungan.
Sedangkan hari suci nyepi dengan berbagai rangkaiannya bisa kita lihat pada teks yang sama antara lain : …..Irikang teriyo dasi ikang keresene pakse, lastiakne ikang peretime, yoganire Sang Hyang tige wisesa, luwirnia, dese puseh, dalem, perengakene sarwa arce-peretime dewa paryangan, medangke kabeh, lungeken maring segara, iniring dening wang sekeraman, sahe widi widane….. benjangnia, amati geni, muang tan wenang wang anambut gawe saluwirnia, agani kunang, ring separaning genahnia, kalingania wang weruhing tatua carite, semadi, gelarane yoge semadi……arti bebasnya : Ketika hari panglong ketigabelas, bersucikanlah semua pretima, sebab yoga beliau Sang Hyang Tiga Wisesa, diantaranya beliau yang melinggih di Pura Desa, Pura puseh dan Pura dalem. Diikuti pula oleh Pratima yang ada di parhyangan, demikian pula pura dangkahyangan semua, diikuti oleh para krama atau warga desa lengkap dengan sesajennya. ……. Setelahnya Ketika Nyepi, amati geni, juga tidak dibenarkan mengambil semua kerja, seperti misalnya menyalakan api, disetiap tempat tinggalnya, seharusnya yang dilakukan adalah mempelajari tattwa cerita atau ilmu pengetahuan suci, melakukan semadhi dan melakukan yoga semadi……… Dalam petikan secara bebas lontar diatas, maka ada pesan yang sangat dalam yang bisa kita petik, bahwa pada saat nyepi adalah pemujaan kepada Sang Tiga Wisesa atau Sang Hyang Tri Murti. Sebagai manifestasi beliau sebagai penguasa tiga alam untuk keselamatan akan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan segala yang ada.
Dengan berpedoman pada kedua sumber tentang hari suci yang bersamaan ini maka bisa kita ambil landasan pemikiran yaitu tumpek wariga sebagai pemujaan untuk kebaikan tumbuhan untuk menyambut hari suci Galungan dan Nyepi sebagai pemujaan tiga kekuatan alam untuk melakukan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Kontek Tri Murti ini adalah refleksi, reinkarnasi dan penguatan kesadaran kesemestaan hidup. Bahwa yang terlahirkan akan terpelihara hidupnya dan akan Kembali setelah selesai kewajibannya. Diawali dengan pemelastian, dimana Ida Bhatara bersuci ke sumber air, dalam hal ini sumber dari segala sumber air adalah laut, maka bersuci ke laut menjadi pedoman. Bahwa boleh melakukan pemelastian ke sumber air terdekat, itu adalah kesepakatan yang ada di masing-masing desa adat, dan tidak ada unsur kesalahan karena sumber air yang ada dilaut berproses menuju gunung dan kembali lagi ke laut sebagaimana yang kita pahami dalam siklus air atau siklus hidrologi.
Bukan tidak ada alasan kenapa kemudian kita mesti memaknai dalam bertemunya Hari Suci Nyepi dengan Tumpek Wariga. Sebab dalam kaidah hidup tidak ada istilah kebetulan, namun semua seolah sudah tergariskan sebagai hukum tetap (rta) yang tanpa bisa ditentang oleh apapun dan siapapun. Segala sesuatu dipertemukan oleh waktu dan berpesan luas agar kita lebih meyakini dan mengaplikasikan ajaran agama dengan baik. Melakukan dengan cara beritual sebagai wahana ketulusan dan keikhlasan, dan aplikasi nyatanya adalah bagaimana kita merawat, memelihara, mengembangkan untuk hasil yang lebih baik. Dalam konteks Nyepi tahun 2025 ini, pesan nyata adalah bahwa refleksi diri dengan melihat kembali fikiran, perkataan dan perbuatan kita sebagai sthana Tri Murti dalam diri, untuk memperolah kesejahteraan Hidup (wariga) dan ujungan adalah kemenangan Dharma sesungguhnya ( menyambut 25 hari menuju Galungan ).
Kemenangan itu adalah tujuan. Menang dari segala godaan hidup, menang dari musuh dalam diri, serta menang dari segala ego dalam diri. Hal ini bisa juga kita lihat dari tujuan agama kita yaitu Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma. Kemenangan jasmani untuk kemenangan Rohani sesungguhnya yang perlu untuk diusahakan. Lalu apakah ujung tombak dari kemenangan itu? Tidak ada lain adalah keseimbangan dan keharmonisan.
Dengan harmonislah kemenangan diperoleh dan akan Sejahtera. Dengan kemenangan pula kesempurnaan rohani akan tergapai dan moksa (bebas). Jadi hari Suci Nyepi (sunya, kosong) untuk Sejahtera (wariga) merupakan spirit Nyepi di tahun 2025 ini. Mari kita wujudnyatakan dengan kesungguhan dan ketulusan. Rahajeng nyanggra lan ngelaksanayang Tumpek Wariga lan Nyepi Tahun Baru saka 1947
[ Editor : Sarjana ]