Bali, Balijani.id ~ Sebagai seorang pengacara dan aktivis anak, Siti Sapurah, SH alias Ipung mengecam keras eksploitasi yang terus berlangsung di Desa Serangan sebagai contoh nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat berat.
Ia menyoroti dampak buruk upaya reklamasi sebuah desa sebelumnya indah, berbuntut menjadi proyek Bali Turtle Island Development (BTID).
“Tidak hanya merusak ekosistem alam, tetapi juga mengancam budaya, kehidupan moral masyarakat, dan warisan spiritual Bali,” kata Ipung, Kamis (19/12/2024).
Sembari menyampaikan, sebagai warga yang lahir dan besar di pulau Serangan, Ipung mengungkapkan bahwa proyek tersebut telah membuat warga pulau Serangan berada dalam situasi terjepit.
“Mereka kehilangan akses terhadap tanah adatnya, dan bahkan ke depan terpaksa hengkang meninggalkan pura-pura mereka yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual selama berabad-abad,” ucapnya.
Lanjut Ipung, pulau Serangan yang dikenal sebagai kawasan sakral dengan delapan pura yang memiliki nilai historis tinggi, kini berada di ambang kehancuran.
Proyek BTID yang diklaim menjunjung tinggi konsep Tri Hita Karena untuk tujuan pariwisata justru berpotensi menghapus keberadaan pura-pura ini.
“Bahkan keberadaan BTID juga menghilangkan jejak sejarah dan budaya yang telah bertahan selama ratusan tahun,” terangnya.
Sembari menjelaslan, jika pura-pura di Pulau Serangan hilang, kita tidak hanya kehilangan tempat ibadah, tetapi juga identitas budaya yang selama ini menjadi ruh masyarakat Bali,” ujar Ipung.
Menurutnya, keberadaan proyek ini mencerminkan pengabaian terhadap hak masyarakat adat, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan hak atas pelestarian budaya.
Sebagai upaya untuk menghentikan kerusakan yang semakin meluas, Ipung mengajak pihak internasional, termasuk organisasi HAM, lembaga lingkungan, dan UNESCO, untuk turun langsung ke Desa Serangan. Ia meminta mereka melakukan investigasi menyeluruh terkait dampak eksploitasi.
“Kami membutuhkan perhatian dunia. Ini bukan hanya masalah lokal Bali, tetapi sebuah isu global tentang pelanggaran HAM, kehancuran ekosistem, dan penghapusan budaya,” jelasnya.
Ipung menambahkan, pihaknya mengundang pihak internasional yang peduli untuk datang ke Pulau Serangan dan melihat langsung apa yang terjadi di sini.
Berharap, dengan keterlibatan pihak internasional, desakan global dapat mendorong penghentian proyek BTID dan mengembalikan hak masyarakat Pulau Serangan atas tanah, budaya, dan lingkungan mereka.
“Pulau Serangan adalah bagian dari warisan dunia. Kita tidak boleh diam saat warisan ini dihancurkan atas nama pembangunan,” pungkasnya.
[ Reporter : Budi ]