Surabaya, Balijani.id – Rumah bordil yang berdiri di kawasan eks Lokalisasi Sememi atau Moroseneng, Jalan Sememi Jaya I dan Jalan Sememi Jaya II, Kelurahan Sememi, Kecamatan Benowo, belum seluruhnya diakuisisi oleh Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya. Akibatnya, lokalisasi yang sempat ditutup pada 2013 itu kini menggeliat kembali.
MN, salah satu pemilik wisma mengungkapkan, pihaknya terpaksa mengaktifkan kembali bisnis prostitusi secara sembunyi-sembunyi. Sebab, keempat wisma miliknya belum dirupiahkan oleh pemkot.
“Kami terpaksa kembali buka, karena tidak ada sumber penghidupan lagi. Kami sebenarnya juga sudah tidak mau buka, tetapi modal dari mana untuk memulai bisnis usaha baru,” ujarnya, Kamis (30/6).
Menurut penuturan MN, dari sekitar 30-an wisma, sudah 15 bangunan yang dibeli oleh pemkot. Bekas rumah pemuas nafsu itu kini ada yang beralih menjadi taman, ruang baca, lapangan, hingga Rumah Padat Karya Sememi.
“Yang paling besar Wisma Barbara, dulu dibeli pemkot sekitar Rp 13 miliar. Sekarang jadi Taman Baca Barbara,” ungkap MN.
MN bersama pemilik wisma yang lain sedang menunggu realisasi pemkot untuk membeli wisma yang tersisa. “Sekarang yang masih beroperasi ada 13 wisma, kami sepakat untuk tutup, tapi mana tindaklanjut dari pemkot yang katanya janji mau beli,” tandas pria berkumis ini.
Sembari menunggu realisasi dari pemkot, akhirnya sejumlah wisma nekat buka. Dalam praktiknya, bisnis esek-esek yang berada di kompleks Lokalisasi Moroseneng beroperasi secara sembunyi-sembunyi.
Pantauan media ini di lokasi, adanya bisnis lendir tersebut memang tidak mencolok. Tak seperti saat era keemasan pada periode 2000an yang penuh gemerlap dan gegap gempita.
Kini, para PSK tidak secara eksplisit dijajakan. Namun bagi pengunjung yang menuju Sememi Jaya I dan Sememi Jaya II, ada germo yang bersiap untuk menawarkan layanan pemuas nafsu di depan tiap-tiap wisma.
Saat media ini menelusuri, di antaranya yang masih berani beroperasi yakni, Wisma Kasih Sayang, Wisma Primadona, Wisma Sri Rejeki, Wisma 21, dan yang lainnya. Masing-masing wisma menyajikan lima sampai dengan tujuh pekerja seks. Mereka dibanderol di kisaran Rp 180 ribu hingga Rp 200 ribu untuk sekali tidur.
“Kami sangat berharap lahan dan bangunan kami dapat segera dibeli oleh pemkot. Sesuaikan saja harganya dengan nilai jual objek pajak (NJOP),” tandas MN.
Sementara itu, salah satu pekerja seks yang lekat dipanggil Indah mengatakan, dirinya baru bekerja selama dua minggu. Dia didatangkan oleh tenaga penyalur. Dalam semalam, Indah bisa melayani 6 sampai dengan 7 pria hidung belang.
“Sakjane ya pingin berhenti, tapi ndolek kerjoan semenjak pandemi angel (sebenarnya ya mau sekali berhenti, tapi mencari pekerjaan sejak pandemi Covid-19 sulit),” ucap warga yang berdomisili di Kapasan ini
[Redho012]