Denpasar, Balijani.id – Setelah pengurus baru PHDI Bali versi WBT (Wisnu Bawa Tenaya, red) terbentuk yang diisi dengan orang lama yang sama, hanya berganti jabatan langsung mengeluarkan ancaman keras akan mempidanakan pihak-pihak yang mendemo mereka dari tahun 2020 karena menentang keberadaan Sai Baba dan Hare Krishna (ISKCON: International Society of Krishna Conciousness, HK, red) di Bali khususnya tentang keberadaan Veda Poshanam Ashram, organisasi pandita kelompok Sai Baba di seluruh Indonesia.
Hal ini langsung ditanggapi dengan tegas oleh Sekjen Forum Komunikasi Taksu Bali, (Forkom Taksu Bali) Khismayana Wijanegara, SH melalui keterangan tertulisnya, Senin (11/4/2022).
Dia menganggap hal itu sebagai sebuah ancaman eksistensi Hindu utamanya yang berpijak pada Dresta (adat budaya, red) Bali.
“Apa yang kelompok PHDI Bali versi WBT lakukan adalah merupakan ancaman terhadap eksistensi Hindu dresta Bali sendiri. Apalagi mereka sudah mulai menggerakkan kelompok mahasiswa yang tidak tahu apa apa tentang Hindu Bali yang masih dibiayai kuliahnya oleh orangtua mereka,” ungkapnya.
Pria yang kerap disapa Gung Khis ini menegaskan hal itu tidak akan membuat mundur 35 elemen atau ormas Hindu Bali yang tergabung dalam Forum Komunikasi Taksu Bali.
“Ini hanya merupakan pengalihan isu terhadap masalah sebenarnya tentang bahayanya eksistensi Hindu dresta Bali dan Hindu Nusantara dari kelompok Sai Baba karena sudah merecoki ranah ritual Hindu Bali yang sudah umat Hindu Bali suarakan dari tahun 2020,” jelas Gung Khis.
Karena sampai saat ini imbuhnya, hal-hal mendasar tentang keberadaan sampradaya asing ‘gado gado’ agama Sai Baba tidak pernah dibicarakan dan dalam Mahasabha PHDI XII versi WBT, justru mereka mengorbankan keberadaan para tokoh ISKCON (Hare Krishna) di dalam tubuh PHDI Pusat dan tetap menampung kelompok Sai Baba.
“Kita bisa melihat memang dalam AD/ART PHDI PUSAT versi WBT pasal tentang pengayoman Sampradaya sudah dihilangkan tetapi keberadaan kelompok Sai Baba dalam kepengurusan PHDI WBT justru semakin menggurita,” tandasnya.
Dia menganalogikan bagaimana undang undang anti narkoba bisa ditegakkan kalau penegak hukumnya sendiri merupakan pengedarnya.
Beberapa contohnya adalah ada sekitar 5-6 sulinggih bergelar “Agni” yang bernaung di bawah Veda Poshanam Ashram (VPA), notabene afiliasi kelompok Sai Baba.
“Ketua Sabha Walaka-nya sendiri adalah penasihat VPA di Sulawesi Tenggara, dan banyak tokoh Sai Baba duduk di kepengurusan baik di walaka dan pengurus harian,” singgungnya.
Gung Khis mengatakan keberadaan PHDI sebagai Majelisnya Para Sulinggih Hindu Dharma Indonesia semestinya ikut menjaga kerajegan agama Hindu dresta Bali, adat-istiadat, dresta, tradisi, seni budaya, serta kearifan lokal yang diwariskan oleh Leluhur Lelangit Bali.
“Mengukuhkan dan menguatkan kedudukan, peran adat Bali sebagai dasar pedoman pelaksanaan dresta gama-nigama Bali dan menjaga tradisi budaya Hindu Dresta Bali dari pengaruh ajaran Sai Baba dan Hare Krishna (ISKCON) yang saat ini banyak diikuti oleh para tokoh dan akademisi yang berasal dari Bali sendiri,” sebutnya.
Keberadaan Veda Poshanam Ashram juga tegas dipertanyakan pihaknya karena selama beberapa periode Alit Bagiasna yang bergelar Ida Nabe Acharya Yogananda; Dharma Adyaksa Veda Poshanam Ashram (VPA) yang duduk juga sebagai Wakil Dharma Adyaksa PHDI Pusat semasa Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa untuk beberapa periode.
“Sebutannya Ida Nabe Acharya, tapi setelah meninggal diperlakukan seperti walaka biasa, dikubur di pretiwi, layaknya warga biasa. Sedangkan jelas- jelas dalam Hindu Dresta Bali bahkan pamangku pun dalam tradisi Bali tidak dikubur. Minimal makingsan di gni, yang berarti kesulinggihan semua pandita VPA tidak melalui proses yang benar dan tanpa persetujuan keluarga besarnya dan lingkungan sekitarnya,” tuturnya.
Walaupun menjadi sulinggih menurutnya hak asasi manusia, sehingga Forkom Taksu Bali menuntut PHDI Bali khususnya harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat atau umat.
PHDI sejak tahun 2001 karena menjadi ormas, sudah menyerupai majelis agama lain yang didominasi pembaca-pembaca pengetahuan agama, tapi belum menurutnya mampu melakonkan, apalagi berwenang menentukan.
“Akibatnya, langkahnya menjadi tak patut dan tak pantas utamanya moralitas diabaikan karena memenuhi kepentingan organisasi transnasional asing Sai Baba dan Hare Krishna yang dipenuhi intrik politik kotor para oknum pengurus walaka-nya,” tutup Sekjen Forkom Taksu Bali.
Diberitakan sebelumnya dengan masih bercokolnya anasir sampradaya asing di dalam tubuh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan melakukan kerja sama dengan Veda Phosana Ashram (VPA) yang dianggap berisi tokoh-tokoh sampradaya dan melanggar aturan diksa pariksa menimbulkan konflik keberadaan sampradaya di tubuh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) berlanjut.
Bertepatan dengan pelaksanaan Lokasabha VIII untuk memilih pengurus baru PHDI Provinsi Bali masa bakti 2022-2027, Jumat (8/4/2022) lalu sebuah aksi bernama Maprawerthi digelar tepat di Sekretariat PHDI Provinsi Bali, Jalan Ratna, Denpasar.
Unjuk rasa dengan iringan kesenian Calon arang ini digawangi Forum Komunikasi Taksu Bali di bawah komando Bandesa Adat Kesiman, Jro Mangku Ketut Wisna ini melibatkan 32 elemen. Di antaranya Mandala Suci (Tabanan), Sri Candra Bhaerawa (Klungkung), Bima Sakti (Badung), Kamasutra (Badung), Giri Tohlangkir (Bangli), Batu Linggam Bali, Taksu Dalem (Denpasar), Don Girang Pejaten (Tabanan), Semeton Banjarangkan (Klungkung), Semeton Asal (Karangasem).
Selain itu hadir pula Semeton Kesambi Kesiman (Denpasar), Pacalang Dukuh Sakti (Karangasem), Jagabaya Kesambi, Peguyuban Pemangku Pura Puseh, Taman Sari Lingga (Buleleng), Tantra Sastra (Klungkung), Suka Duka Pande, Gajah Nusa Penida, Prajuru Pecalang Pura Dalem Ped, Pesraman Kereta Kencana (Badung), Cakrawayu Buleleng, Cakrawayu Bali, Pura Taman Beji Renon, Tarung Derajat Bali, Taksu Bali Dwipa, Semeton UJS, Buana Sidhi, Semeton Dalem, Kerohanian Taksu Bali, Peguyuban Pemangku Karang Suwung Kaja, dan Yayasan Dharma Santhi Wisesa.
Menurut Jro Mangku Wisna yang akrab disapa JMW, aksi Maprawerthi ini didasarkan atas beberapa pertimbangan.
“Pertama, bahwa sampai saat ini PHDI masih bekerjasama dengan sampradaya asing VPA dan lainnya. Hal ini membuat tubuh PHDI sebagai lembaga keumatan masih terkontaminasi dengan sampradaya asing perusak tatanan adat seni budaya Hindu di Bali dan nusantara,” bebernya kepada wartawan.
Poin kedua tambahnya, PHDI sudah tidak mampu lagi sebagai pengayom umat Hindu karena telah terjadi sengketa yang menimbulkan kebimbangan umat dalam berkeyakinan dengan adanya dualisme PHDI WBT versus PHDI MLB (Mahasabha Luar Biasa).
“Poin ketiga, PHDI sebagai lembaga umat sudah membuat resah dan kegaduhan di masyarakat umat Hindu sehingga rasa nyaman dan damai dalam berkeyakinan sudah tidak dirasakan lagi oleh umat Hindu,” pungkas Jro Mangku Wisna. (002/red)