Memuliakan Susastra Geguritan Sucita di Tanah Kelahirannya

Oleh : IK. Satria

Buleleng, Balijani.id| Desa Adat Banjar melakukan upaya yang luar biasa dalam rangka melestarikan seni dan budaya daerahnya. Mulai dengan melakukan pembinaan pada berbagai seni metembang yang selama ini telah hidup dan berkembang seperti kekidungan dan kakawin yadnya dalam setiap Upacara. Hal ini sangat sejalan dengan pelaksanaan ajaran agama Hindu dimana tetembangan adalah salah satu ornament yang mesti ada dalam setiap pelaksanaan Upacara di Bali. Beberapa tokoh pesantian lahir dari daerah yang identik dengan Bunga Sandat Buleleng ini. Tidak terlepas juga dari seni tatembangan berupa Geguritan.

Tetembangan yang satu ini juga sangat diminati oleh masyarakat Desa Adat Banjar, bahkan salah satu pujangga besar Ida Ketut Djelantik adalah salah satu pengawi Geguritan Sucita yang sudah sangat terkenal bukan hanya di Desa Adat Banjar, bahkan sampai di desa-desa diluar Banjar sampai pada daerah Luar Bali.

Khususnya dibeberapa daerah Transmigrasi masyarakat Bali, disana geguritan ini sangat diminati dan dikembangkan oleh masyarakatnya dengan pelaksanaan pesantian setiap waktu luang masyarakat, hal ini dijelaskan oleh Bendesa Adat Banjar Ida Bagus Kosala, yang juga adalah cucu dari penulis Geguritan Sucita. Beliau juga menuturkan bahwa bagaimana karya susastra ini sangat digemari di daerah Transmigras, ketika beliau bertugas di dinas Transmigras pada jamannya, sering bertemu dengan masyarakat Trans dan melihat bagaimana Geguritan ini sangat digemari.

Sekilas Geguritan Sucita adalah karya susastra yang sanga monumental, hal ini karena pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya. Mulai dari bagaimana berprilaku, berkata-kata dan bagaimana menjaga fikiran kita. Ada beberapa alur derita yang memang sangat mengena bagi masyarakat kini dan nanti. Perkembangan jaman seolah tidak menggerus nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Sucita, isinya selalu relevan di sepanjang jaman. Benarlah kalau geguritan ini memang diperoleh dari pewahyuan yang diperoleh oleh Ida Ketut Djelantik. Pantaslah beliau disebut sebagai seorang Pujangga yang memiliki Wijnana atau nilai kebijaksanaan yang tinggi yang terdapat pada karya suci beliau. Geguritan ini terdiri dari 1877 bait geguritan yang terbagi menjadi 11 tembang dan 57 pupuh, namun tembang sinom yang paling banyak digunakan.

Sosok Ida Ketut Djelantik adalah putra banjar yang pernah bekerja di Kantor Agama Provinsi Sunda Kecil Wilayah Buleleng pada Tahun 1932. Lalu melanjutkan pekerjaan di Kodam Raksa Buana (sekarang Kodam IX Udayana) pada tahun 1950-an. Karya sastra geguritan ini mulai ada pada tahun 1940-1950 yang kemudian pada Tahun 1961 telah diterbitkan untuk pertama kalinya. Adapun beberapa karya sastra beliau antara lain Kitab Aji Sangkya yang berisi tentang tattwa teologi Hindu, lalu Geguritan Lokika, Satua Men Tingkes, Geguritan Bhagawadgita, Geguritan Gonika, Terjemahan Wrespati tattwa, terjemahan Sarasamuscaya, bebasan Bhisma Parwa dan yang lainnya.

Sebagai salah satu Penyuluh Agama di kementerian Agama Kabupaten Buleleng yang menggagas acara ini adalah I Kadek Satria, S.Ag. M.Pd.H. pemuda Hindu yang kini bertugas di Kementerian Agama Kabupaten Buleleng sejak Tahun 2024. Beberapa ide kreatif yang telah dilakukan adalah membuat kegiatan KEDASIH BALI UTARA ( Kelompok Diskusi Asyik Intelektual Hindu) DI Bali Utara. Kegiatan ini adalah kegiatan diskusi tentang berbagai aspek-aspek agama hindu, budaya dan tradisi yang ada di Kabupaten Buleleng, yang bekerjasama dengan beberapa Organisasi pemuda Hindu lainnya seperti Peradah Buleleng, KMHDI Buleleng, Prajaniti Buleleng, Organisasi mahasiswa Hindu di Buleleng, Siswa dan pelajar serta Organisasi kemasyarakatan lainnya. Berbagai pemikirannya sesungguhnya adalah untuk menguatkan generasi muda Hindu dalam melakukan kegiatan dan kemajuan kualitas SDM umat utamanya dalam kaitan dengan Keagamaan. Kegiatannya dilakukan setiap bulan yaitu bertepatan dengan hari suci Tilem yang dilakukan di Wantilan Pura Agung Jagatnata, Buleleng. Kegiatan-kegiatan lainnya seperti dharmawacana, dharmagita, dharmatula, dharmasadhana juga dilakukan pemuda ini sebagai bentuk upaya untuk menjalankan tugas kepenyuluhan dan kemajuan umat Hindu pada umumnya.

Kegiatan yang digagas selanjutnya adalah membaca karya susastra Geguritan Sucita yang dibaca dimana karya sastra ini diwahyukan oleh Tuhan kepada umatnya melalui Ida Ketut Djelantik. Kegiatan ini dimulai pada senin 8 Desember 2025 yang akan dilakukan secara terus menerus setiap bulan purnama di Wantilan Pura Dalem Desa Adat Banjar. Ide ini diawali dengan kecintaan sosok Satria terhadap beberapa karya susastra leluhur. Seperti misalnya pada tahun 2017 melakukan kegiatan membaca geguritan Jayaprana sehari di Pasraman pasir Ukir yang juga dibuatnya untuk melakukan kegiatan pesantian setiap Sabtu sore hingga saat ini, Bersama beberapa penggelut dan pecinta susastra tetembangan. Berbagai kecintaan inilah yang membuat Satria selalu berinovasi untuk pengembangan susastra dengan menggalakan kecintaan umat kepada karya sastra tetembangan yang sarat aka nisi ajaran agama. Salah satu hasil karya satria di akhir tahun adalah terbitnya Geguritan Kerthala yaitu geguritan kecil yang sarat akan pesan-pesan bhakti kepada Tuhan dalam melakukan swadharma. Karyanya ini sudah mendapatkan HAKI ( Hak Kekayaan Intelektual) dari pemerintah. Tentu untuk mengembangkan dan menggalakan pencarian serta penggalian ajaran agama melalui susastra sangat penting bagi generasi muda saat ini, pelaksanaan pembelajaran seperti membaca geguritan perlu digalakan dan diwadahi terlebih geguritan Sucita ini adalah karya yang lahir di Desa Adat banjar. Jadi di tanah kelahirannyalah perlu kita muliakan sebelum orang lain yang memetik hasil dari hasil karya ini tandasnya.

Kegiatan ini sangat disambut baik oleh krama Desa Adat banjar, terutama penkmat tetembangan yang tergabung dalam sekaa pesantian. Ada 50 orang peserta yang secara langsung mengikuti pembukaan, matur piuning dan secara langsung membaca, neges dan mendiskusikan geguritan ini. Beberapa diantaranya adalah Jero Made Redita, Ida Kade Subiksa, Ide Kade Arika, Ida Mangku Putu Jelantik, Gst Made Parmi, Gst Putu Arta , Ide Komang Indra, Putu Suastika Dewa Nyoman Ade, Jero Mangku Nyomang Sinta dan A.A Agung Widnyani. Semua dari mereka adalah pecinta, pengwacen lan peneges yang tampil mewakili yang lainnya serta berharap agar kegiatan ini tetap dilakukan untuk upaya neduhang jagate antuk susastra mautama, yang notabene lahir di tanah kelahiran mereka. Harapan juga muncul dari Jero Mangku Dalem Desa Adat Banjar dan salah satu perwakilan Generasi Muda Banjar, bahwa berharap agar hal ini dilakukan terus untuk menjadi bagian dari usaha memuliakan karya susastra yang lahir di tanah banjar. Jika tidak kita, lalu apakah kita mesti jadi penonton melihat di daerah lain tentang bagaimana mereka memuliakan Geguritan ini, Tandasnya.

“Karya sastra ini adalah salah satu karya yang monumental, sarat ajaran-ajaran keagamaan dan etika dalam Hidup” Dengan membaca dan mendiskusikanya akan kita peroleh manfaat kesenian, manfaat kesehatan, manfaat peningkatan kualitas pemahaman dan sebagai salah satu wujud bhakti terhadap leluhur. Bagaimanapun juga Lahir di banjar, mesti memuliakan karya sastra yang juga diwahyukan di Desa Adat Banjar”, ungkap Satria sang pegagas dan pecinta susastra Sucita itu.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *