News  

Makna Sugihan, Galungan, Kuningan, Pemacekan Agung

“Sebentar lagi umat Hindu Bali akan merayakan Hari Raya Galungan. Selamat mempersiapkan Hari Raya Galungan dan Kuningan”

Balijani.id – WRASPATI WAGE SUNGSANG disebut Sugian Jawa berasal dari 2 kata: SUGI dan JAWA.
SUGI memiliki arti Bersih, Suci.
JAWA berasal dari kata Jaba yang artinya luar.
Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan /penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut MEREREBU atau MEREREBON. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk Nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Sanggah /Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya.

SUGIHAN_BALI
SUKRA KLIWON SUNGSANG disebut SUGIAN BALI memiliki makna yaitu Penyucian/Pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Pabersihan / Palukatan sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat.

PENYEKEBAN
REDITE PAHING DUNGULAN disebut Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “Nyekeb Indrya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan .
Pada Hari inilah SANG_BHUTA_GALUNGAN ( sifat ingin berperang / berkelahi ) datang. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan ‘ Anyekung_Jnana’ yang artinya Mendiamkan Pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan karena yang digoda saat itu adalah PIKIRAN atau IDEP ( MANACIKA diparisudha ) Jika berhasil menaklukkan Bhuta Galungan tersebut, berarti dari sisi Wewaran dimaknai Jaya (menang) atas Kala (godaan Bhuta),”

PENYAJAAN,
SOMA PON DUNGULAN disebut Penyajaan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius.
Pada hari inilah SANG_BHUTA_DUNGULAN ( Sifat ingin Menaklukkan atau Menang ) Panyajan dalam lontar Sundarigama

Saat inilah Sang Bhuta Dunggulan melakukan godaan terhadap UCAPAN manusia. “Jadi, sebisa mungkin WACIKA harus di Parisudha, artinya berkata yang baik, tidak memancing amarah orang lain yang bisa menggoda ucapan manusia dalam memahami Galungan. Jika berhasil dilalui berarti sudah Jaya atas Kala,”

7. PENAMPAHAN
ANGGARA WAGE DUNGULAN . Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti ‘Menyambut’.
Sedangkan godaan terakhir datang dari SANG_BHUTA_AMANGKURAT ( sifat Ingin menguasai, ) Bhuta ini menggoda prilaku manusia dalam memahami Galungan.
“Makna sesungguhnya dari hari panampahan ini adalah membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar dan termasuk sifat hewani tersebut,” bebernya.
Dikatakannya, ini sesuai dengan lontar Sundarigama, yaitu;
‘Pamyakala_kala_malaradan
yang artinya membayar utang kepada ruang dan waktu.
apabila unsur Kala-nya yang unggul, maka akan menampilkan pemahaman yang Maboya (ingkar) terhadap Hari Raya Galungan. Sedangkan bila unsur Jaya yang unggul, maka akan menampilkan pemahaman yang Ngugu (yakin) dan tuwon (satya), tak tergoyahkan melaksanakan Hari Raya Galungan.
Disaat inilah KAYIKA ( perbuatan ) di parisudha.
Sundari-Gama mengajarkan agar ;

Hendaklah meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh Bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabikala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan ini.

PENJOR terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, dan lain-lainnya.

GALUNGAN
Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing ,Sanggah/Merajan hingga ke Pura
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra.

Galungan yang jatuh pada wewaran #Uma_Mandala,” jika ditelisik dari sisi Wariga, bahwa ;
UMA diartikan sawah yang merupakan simbol dari kesuburan (padi).
MANDALA diartikan sebagai Jagad atau Bumi.

Galungan inilah puncak rahina jagat. Hari kemenangan Dharma terhadap Adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
dan dalam usaha mencapai ananda atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
“Ini berarti jika Hari Raya Galungan yang merupakan Otonan Jagat sebagai wujud untuk mendapatkan kesuburan dan kesejahteraan dengan berbagai sesajen yang dihaturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Leluhur kita di sanggah merajan dengan menghaturkan punjung, atau soda sagi,”
“Jadi, kemenangan Dharma atas Adharma secara WARIGA dimaknai sebagai unggulnya ;
JAYA ATAS KALA
DIRI KITA.

UMANIS_GALUNGAN
WRASPATI UMANIS DUNGULAN , umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.
Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan Barong disertai Gamelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif.

PEMARIDAN_GURU
SANISCARA PON DUNGULAN disebut Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru.

ULIHAN
REDITE WAGE KUNINGAN , disebut Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para Dewata-Dewati/Leluhur ke Kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur.

PEMACEKAN_AGUNG
SOMA KLIWON KUNINGAN disebut dengan Pemacekan Agung , Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya #Tekek (Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan.

KUNINGAN
SANISCARA KLIWON KUNINGAN, disebut dengan Kuningan. Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang Tamiang,Kolem, dan Endong.
Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra,
Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa,
Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma.

Tamiang Kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum.
Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan.

PEGAT_WAKAN
BUDA KLIWON PAHANG disebut dengan Pegat Wakan , Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah.6 Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan……

Sumber : Babat Bali dan beberapa nara sumber secara oral
Penulis : Ukie Noverdianto
Editor : Nyoman Sarjana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *