Bali, Balijani.id| Tanah Suwung dulu tidak istimewa. Ia hanya tanah pesisir, basah oleh pasang, kering oleh surut. Hujan jatuh dan menghilang ke pori-porinya. Akar mangrove di sekitarnya bernapas tenang, menahan lumpur, menjaga garis hidup antara darat dan laut. Di tempat seperti ini, alam bekerja tanpa suara dan yang menjaga juga tak pernah meminta disapa.
Tanah pesisir bukan ruang kosong. Ada penunggu, ada roh penjaga, ada keseimbangan yang tak tertulis di peta proyek. Mereka menjaga air agar tidak meluap, menjaga tanah agar tidak mati, menjaga batas agar manusia tahu kapan harus berhenti. Selama batas itu dihormati, alam memberi cukup.
Lalu dosa manusia yang tak mau ditampung itu datang. Sampah tiba setiap hari. Tidak dipilih, tidak dipilah. Sisa dapur, plastik, limbah rumah tangga, residu pariwisata semuanya dijatuhkan begitu saja. Tanah dipaksa menelan apa pun yang manusia tak mau simpan. Open dumping berjalan lama. Terlalu lama. Hingga tanah tak lagi bekerja sebagai tanah.
Lindi meresap perlahan. Membawa bau, bakteri, amonia, logam berat. Air hujan yang dulu masuk kini memantul. Menggenang. Menghitam. Di titik tertentu, Suwung kehilangan kemampuan paling dasarnya yaitu menyerap. Bukan hanya air, tapi juga duka yang terus dititipkan padanya.
Mangrove di sekitarnya berdiri kaku. Akar napas yang seharusnya menyaring dan melindungi justru terendam cairan yang tak dikenal alam. Burung datang sebentar lalu pergi. Kepiting muncul tanpa jejak. Seolah makhluk-makhluk kecil itu lebih cepat membaca tanda daripada manusia.
Bagi warga sekitar, bau menjadi penanda waktu. Datang bersama angin. Jendela ditutup bukan karena hujan, tapi karena udara. Anak-anak tumbuh dengan aroma busuk sebagai latar masa kecil. Orang tua belajar menahan napas. Air tanah tak lagi sepenuhnya dipercaya. Keluhan kesehatan muncul pelan. Iritasi, batuk, pusing dan berhenti di sana. Seolah penderitaan kecil memang tak layak dicatat.
Ketika alam terus disakiti, para penjaga tidak selalu marah. Namun keseimbangan dilepas pelan-pelan. Tanah dibiarkan jenuh. Air dibiarkan naik. Bukan sebagai kutukan, melainkan tanda bahwa batas sudah lama dilanggar.
Ironisnya, ketika luka itu tak lagi bisa disembunyikan, Suwung justru sering dijadikan kambing hitam. Disebut-sebut akan dibangun hotel. Seolah kerusakan datang dari masa depan. Padahal luka utamanya sudah lama terjadi.
Pembuangan terbuka yang dibiarkan bertahun-tahun, meski larangannya tertulis terang dalam undang-undang.
Suwung bukan sekadar lokasi. Ia adalah ruang hidup yang dipaksa memikul kegagalan tata kelola. Tempat di mana kenyamanan kota dan kabupaten pariwisata ditumpuk, dan ketidaksabaran manusia menabrak batas alam. Setiap genangan lindi adalah catatan yang tak ditulis. Setiap bau adalah pengingat bahwa ada roh penjaga yang telah lama dipaksa diam.
Kini tanah itu tidak lagi bisa menyerap apa pun. Bahkan hujan pun kebingungan mencari jalan. Kesedihan mengendap terlalu lama. Ketika manusia berhenti menghormati, alam akan berhenti memaafkan.
[ Editor : Sarjana ]












