News  

TPA Suwung Ditutup, Forum Swakelola Bali Ancam Pemerintah dan Negara

Denpasar, Balijani.id| Penutupan TPA Suwung semestinya menjadi penanda sederhana, bahwa negara sedang menegakkan hukum. Namun keputusan itu justru dibalas dengan tekanan. Pernyataan-pernyataan bernada ancaman muncul ke ruang publik, dilontarkan atas nama Forum Swakelola Bali. Bukan untuk memperbaiki pengelolaan sampah, melainkan untuk menggoyang keputusan yang sudah bersandar pada perintah tertulis dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Penutupan Suwung bukan manuver politik, apalagi uji nyali kekuasaan daerah. Ia adalah eksekusi hukum. Praktik open dumping yang berlangsung lama dinilai melanggar undang-undang dan membahayakan lingkungan. Dalam situasi seperti ini, negara tidak sedang meminta pendapat. Negara menjalankan kewajibannya.

Yang patut dipertanyakan justru reaksi yang muncul. Alih-alih menyiapkan transisi pengelolaan yang patuh hukum, sebagian pihak memilih jalur tekanan. Narasi krisis dibangun, seolah tanpa Suwung Bali akan lumpuh. Di titik ini, ancaman bukan lagi sekadar retorika. Ia berfungsi sebagai alat tawar. Buka kembali Suwung, atau publik akan disuguhi kekacauan.

Padahal dasar hukumnya terang. UU Nomor 18 Tahun 2008 melarang open dumping. Larangan itu dipertegas PP Nomor 81 Tahun 2012 dan Permen LHK Nomor 06 Tahun 2021. Ketika pelanggaran berlangsung dan dampak lingkungan nyata, UU Nomor 32 Tahun 2009 membuka sanksi pidana atas pembiaran pencemaran. Dalam kerangka ini, penutupan bukan opsi, ia adalah kewajiban.

Tekanan terhadap pemerintah menjadi ganjil ketika dilihat dari sisi kepentingan. Selama bertahun-tahun, Suwung menjadi simpul sistem lama,  angkut buang bayar. Ada aliran truk, ada pungutan, ada kenyamanan. Penutupan memutus mata rantai itu. Maka kepanikan pun wajar, bagi mereka yang selama ini bergantung pada sistem yang sebenarnya ilegal.
Forum boleh bersuara. Kritik adalah hak. Tetapi ketika suara itu berubah menjadi ancaman terhadap keputusan negara, batasnya jelas.

Menghalangi pelaksanaan perintah hukum, apalagi dengan menciptakan tekanan publik yang sistematis, bukan lagi perbedaan pendapat. Ia masuk wilayah menghambat eksekusi negara.
Lebih ironis lagi, sasaran kemarahan diarahkan ke provinsi atau gubernur. Padahal hukum telah membagi peran dengan tegas. Pengangkutan dan pengelolaan sampah rumah tangga adalah kewenangan kabupaten/kota—melalui dinas, camat, lurah, hingga kepala desa. Provinsi berfungsi menyusun kebijakan, membina, dan mengawasi. Menyalahkan provinsi adalah jalan pintas yang menyesatkan.
Solusi sebenarnya tidak pernah absen. Undang-undang telah lama mewajibkan pengolahan di sumber, TPS3R, TPST, dan TPA hanya untuk residu. Yang tertunda bukan aturannya, melainkan keberanian menjalankan kewajiban. Selama Suwung terbuka, penundaan terasa aman. Begitu ditutup, kepanikan menyeruak.

Pada akhirnya, persoalan Suwung bukan soal teknis semata. Ia soal pilihan, patuh pada hukum atau mempertahankan kenyamanan sistem lama. Ancaman terhadap pemerintah tidak akan mengubah fakta bahwa kerusakan telah terjadi dan hukum harus ditegakkan.
Jika ada pihak yang ingin Suwung kembali dibuka, jalurnya jelas dan jujur. Ajukan kewenangan pengelolaan ke Kementerian Lingkungan Hidup, kelola sesuai hukum, tanggung risikonya. Di luar itu, tekanan dan ancaman hanya menegaskan satu hal, bahwa yang dipertahankan bukan kepentingan publik, melainkan bisnis sampah yang tak ingin dibenahi.

Dalam negara hukum, yang berbahaya bukan penutupan TPA. Yang berbahaya adalah upaya mengintimidasi negara agar berhenti menegakkan hukumnya sendiri.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *