News  

Galungan Banyak Biaya ? Merayakan Hari Suci Mesti Cermat, Bukan Hemat

Oleh : I Kadek Satria
Penyuluh Agama Kementerian Agama Kabupaten Buleleng

Buleleng, Balijani.id| Yadnya dalam arti sederhananya adalah Persembahan Suci, persembahan yang dilakukan dengan dasar kesucian. Landasannya adalah kitab suci, dibuat dan dihaturkan oleh orang suci, dipersembahkan di hari yang suci, serta menggunakan alat-alat yang suci dan dilakukan di tempat yang suci. Inilah acara Agama Hindu kita.

Landasan kesucian adalah kata kuncinya sesungguhnya, sekarang kita bisa melihat bahwa yadnya sudah sangat bergeser pemahamannya bagi kita semua. Ada yang menyatakan yadnya adalah korban suci, artinya setelah berkorban, semua urusan selesai. Ada juga yang mengartikan bahwa yadnya adalah rutinitas kehidupan yang spiritual, artinya setelah ber-yadnya berarti kita sudah spiritual, dan beberapa anggapan lainnya. Pada hakikatnya marilah kita renungkan, apakah setelah berkorban itu kita sudah mendapatkan kebaikan yang utuh dari alam?

Bukankah sesungguhnya kita hanya konsumen dari segala produk alam ini yang kita fikirkan sebagai milik kita? Yang seharusnya kita pelihara baik untuk kebaikan hasilnya pula. Ini artinya kita telah menggeser makna yadnya itu, dari esensinya turun menjadi hanya sekedar rutinitas belaka.

Hal inilah yang kurang pada diri kita saat ini, kurang mengesensi pada hakikat yadnya sesungguhnya, sehingga hasilnya pun kurang mengena, artinya tidak tepat guna. Sebagai hasilnya adalah pandangan bahwa yadnya sudah besar, tetapi penderitaan dunia semakin menguat. Padahal dari Yadnya itu sesungguhnya menghasilkan vibrasi kesucian yang mampu menguatkan sradha dan bhakti manusia kepada Tuhannya.

Pada pelaksanaan Yadnya Suci inilah dihadirkan Tuhan yang maha Suci itu untuk menyaksikan seluruh rangkaian kesucian yang dipersembahkan. Sungguh luar biasa jika kita sadari bahwa yadnya suci inilah yang menjadi tolak ukur bertemunya kesucian dan akan menjadi penyangga alam.

Menyangga artinya, alam ini disokong keberlanjutannya oleh yadnya, selain orang suci atau diksa, tapa atau pengekangan, pertiwi sebagai penghidup dan diikat erat oleh keberadaan Panca Maha Bhuta.

Sehingga alam menjadi degdeg, kertha dan isinya Bahagia sejahtera. Panca Maha Bhuta inilah sesungguhnya perlu harmonis, bagaikan tali, yang selalu erat mengikat sehingga kokoh berdiri. Hal itu pula agar ikatan kekokohan alam ini tetap keseimbangan dan tetap berlangsung sesuai hukumnya.

Pemahaman Yadnya itulah yang sesungguhnya mesti muncul dan kita lakukan pada setiap hari suci. Termasuk didalamnya hari suci Galungan dan Kuningan. Menjelang hari suci inilah umat kita merasa berat dengan berbagai pengeluaran yang tentunya tidak sedikit untuk ukuran jaman sekarang. Maka disinilah muncul kata “hemat” dalam ber- yadnya.

Dalam pandangan saya kata hemat dalam ber-yadnya ini sangat tidak relevan dengan pemahaman yadnya sebagai persembahan suci diatas. Kata hemat ini menyiratkan ketidak ikhlasan yang memunculkan beragama Hindu kita menjadi memberatkan dan semakin jauh dari kesadaran. Nah pada titik inilah kita tidak akan memperoleh hasil dalam persembahan kita. Maka kita harus cermat dalam mencermati esensi yadnya sebagai persembahan suci agar kita melakukan dan menggunakan sarana yadnya sesuai dengan kemampuan dan apa adanya. Tidak lagi ada pemikiran rajasika yaitu ingin tampil beda, ingin tampil mewah walau sesungguhnya itu dilakukan dengan kepamerihan yang sangat.

Sudah terlalu banyak sloka-sloka Veda menyiratkan bahwa ber-yadnya itu adalah bentuk kesadaran yang menjadi cetusan kesucian, untuk harapan kesucian dan hasilnya adalah kesucian pula. Maka melalui tulisan ini saya menggugah agar kita ber-yadnya sesuai dengan kemampuan atau ketulusan sesuai dengan kemampuan, bukan pada meniru orang lain yang mungkin sudah mampu secara ekonomi. Ketulusan itu justru adalah kelapangan hati, kemurnian dalam mempersembahkan dan akan membuat keharmonisan.

Hal konkrit yang bisa kita lakukan pada perayaan suci Galungan dan Kuningan antara lain adalah pertama, penggunaan buah local yang kita punya dan terdekat dengan alam kita, sehingga dengan berisi sebiji saja buah itu maka banten kita sudah dianggap benar oleh kitab suci. Penggunaan daging bisa kita peruntukan dan khususkan untuk sarana ritual, bukan pemenuhan keinginan konsumsi terlebih jika bisa mengurangi menambah minuman keras didalamnya. Kedua, penjor upakara adalah berisi seluruh isi alam yang kita miliki sekedarnya.

seperti biji-bijian secukupnya, buah-buahan secukupnya, pala bungkah dan pala gantung, serta dilengkapi dengan pala rambat. Dihias sewajarnya dan secukupnya maka akan menghasilkan penjor upakara penuh makna. Ketiga yang lebih penting adalah melaksanakan tapa brata sesuai dengan rangkaian hari suci galungan seperti diawali dengan ke -elingan pada sugi pengenten, pembersihan lingkungan atau alam semesta pada sugihan jawa, dilanjutkan dengan bersuci pada sugihan bali, dan inilah pondasi pertama.

Selanjutnya adalah anyekung jnana pada penyekeban, menata kata dan laku pada penyajaan dan dilanjutkan dengan pengendalian diri dengan baik pada penampahan galungan. Inilah bangunan lanjutan dari pondasi rangkaian galungan sesungguhnya. Jika ini sudah dilakukan maka menancapkan kemenangan (disimbolkan dengan penjor) akan membuat semua menjadi lebih baik.

Mari kita mengenali dan melakukan hakikat yadnya sebagai penyangga alam sesungguhnya, dengan kesungguhan kita secara sekala dan niskala. Bukan hanya memuja, namun juga memelihara. Galungan itu akan menjadi hari perayaan kemenangan sesungguhnya jika kita memang sudah menang setiap hari dalam melaksanakan agama kita sebagai perilaku bajik dan sempurna untuk ukuran kita. Kurangi ber-yadnya dengan alasan kemewahan dan ingin pamer, karena itu akan mencederai yadnya yang sesungguhnya sangat menghasilkan kelimpahan. Rahajeng merayakan kemenangan di Galungan yang sesungguhnya.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *