Dr. Hendrawan Saragi
Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah
Pendahuluan
Pengembangan wilayah adalah kunci untuk mencapai pemerataan ekonomi dan sosial dalam pengembangan nasional, memastikan distribusi infrastruktur, peluang ekonomi, dan layanan publik yang adil di seluruh wilayah. Di Indonesia, ketimpangan wilayah tetap menjadi tantangan: pada Q1-2025, Jawa menyumbang 49,9% dari total realisasi investasi, sementara wilayah di luar Jawa menyumbang 50,1%, menunjukkan upaya pemerataan meskipun Jawa masih dominan. Partai politik, sebagai penggerak utama kebijakan publik, memainkan peran strategis dalam menentukan keberhasilan pengembangan wilayah melalui tata kelola yang transparan, akuntabel, dan inklusif. Buku Economic Liberalism and the Developmental State: Hong Kong and Singapore’s Post-war Development karya Mark K. Y. Chu (2023) menyoroti bagaimana liberalisme ekonomi Hong Kong dan pendekatan negara pengembangan Singapura mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata, dapat memberikan pelajaran bagi Indonesia. Tata kelola partai politik yang efektif dapat mempercepat pengembangan wilayah, sementara tata kelola yang lemah, seperti korupsi atau polarisasi, menghambatnya. Esai ini berargumen bahwa tata kelola partai politik yang kuat, dengan mengintegrasikan kebebasan ekonomi dan stabilitas politik, adalah prasyarat untuk pengembangan wilayah yang berkelanjutan di Indonesia.
Latar Belakang
Pengembangan wilayah bertujuan untuk mengurangi disparitas antarwilayah melalui investasi infrastruktur, peningkatan ekonomi, dan akses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan anggaran Rp 466 triliun hingga 2024 mencerminkan ambisi untuk mengalihkan pertumbuhan ekonomi ke Kalimantan. Tata kelola partai politik, yang mencakup transparansi dalam pengambilan keputusan, akuntabilitas kepada publik, dan mekanisme internal yang demokratis, menentukan keberhasilan kebijakan ini. Pendekatan liberalisme ekonomi Hong Kong, dengan pajak korporasi 15% dan pertumbuhan PDB rata-rata 7,3% per tahun (1961–1997), memungkinkan pengembangan wilayah tanpa polarisasi politik yang berlebihan dan model negara pengembangan Singapura dengan pertumbuhan PDB 8% per tahun (1965–1990) mengandalkan stabilitas Partai Aksi Rakyat (PAP), meskipun mengorbankan kebebasan politik. Hubungan antara tata kelola partai dan pengembangan wilayah terletak pada kemampuan partai untuk menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial, seperti yang ditunjukkan oleh keberhasilan Hong Kong dan Singapura.
Analisis
Tata Kelola Partai Politik yang Efektif
Tata kelola partai politik yang efektif, seperti seleksi pemimpin berbasis meritokrasi, pengambilan kebijakan berbasis data, dan pengelolaan konflik internal, dapat mendorong pengembangan wilayah melalui kebijakan yang inklusif. Di Singapura, dominasi PAP, yang memenangkan 83 dari 93 kursi pada Pemilu 2020, memungkinkan stabilitas politik untuk kebijakan seperti perumahan Housing Development Board, yang menampung 80% penduduk pada 2020, mendukung pemerataan sosial di seluruh wilayah. Chu (2023) menegaskan bahwa stabilitas ini memungkinkan investasi jangka panjang, seperti pelabuhan yang menyumbang 7% PDB pada 2020. Partai politik di Indonesia dapat meniru pendekatan ini dengan mendorong kebijakan berbasis data untuk IKN, yang pada Q1-2025 menarik investasi asing sebesar US$4,2 miliar dari Singapura. Konsultasi publik, seperti yang dilakukan untuk IKN di Kalimantan Timur, dapat meningkatkan legitimasi kebijakan, sebagaimana yang ditekankan oleh Hoover Institution tentang pentingnya akuntabilitas.
Dampak Tata Kelola yang Lemah
Tata kelola partai politik yang lemah, seperti korupsi atau fragmentasi internal, dapat menghambat pengembangan wilayah. Dominasi perusahaan milik negara di Singapura telah melemahkan kewirausahaan lokal, meskipun stabilitas PAP mendukung pertumbuhan. Di Indonesia, korupsi dalam proyek infrastruktur, seperti kasus jalan tol Sumatera pada 2019 yang merugikan Rp 1,2 triliun, menunjukkan bagaimana tata kelola yang buruk menyebabkanalokasi sumber daya yang tidak efisien. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 turun ke peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34, mencerminkan tantangan korupsi yang menghambat pengembangan wilayah seperti Papua, di mana hanya 60% anggaran infrastruktur terserap pada 2022. Polarisasi partisan, sebagaimana diperingatkan oleh Morris P. Fiorina, juga terlihat dalam protes terhadap UU Cipta Kerja 2020, yang melemahkan dukungan untuk reformasi ekonomi yang diperlukan untuk pengembangan wilayah.
Contoh Konkret
Keberhasilan: Singapura menunjukkan keberhasilan tata kelola PAP melalui program SkillsFuture, yang melatih 25.000 pekerja pada 2023, mendukung pemerataan keterampilan di seluruh wilayah. Hong Kong, dengan investasi asing mencapai 30% PDB pada 1980-an, menunjukkan bagaimana kebebasan ekonomi tanpa polarisasi politik mendorong pertumbuhan merata.
Kegagalan: Di Indonesia, pengembangan di Papua terhambat oleh korupsi dan kurangnya koordinasi antarpartai. Pada 2022, rendahnya penyerapan anggaran infrastruktur (60%) memperlebar kesenjangan dengan Jawa, yang menarik investasi Rp 200,5 triliun pada Q1-2024.
Solusi
Untuk memperkuat tata kelola partai politik guna mendukung pengembangan wilayah, beberapa langkah dapat diambil:
Reformasi Internal Partai: Partai politik dapat menerapkan seleksi pemimpin berbasis meritokrasi dan pelatihan kader, seperti yang dilakukan PAP, untuk memastikan kebijakan pengembangan wilayah yang efektif.
[ Editor : Sarjana ]