Jakarta, Balijani.id ~ Skandal pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 senilai Rp3,03 triliun menyeret nama-nama besar, mulai dari pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga petinggi PT Energi Kita Indonesia (PT EKI). Kasus ini menguak dugaan kerugian negara sebesar Rp625 miliar, sebagaimana diungkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penunjukan langsung kepada PT EKI pada Maret 2020 menjadi awal mula skandal ini. Meski perusahaan tersebut tidak memiliki izin sebagai distributor alat kesehatan, mereka tetap memenangkan kontrak dengan dukungan Gde Sumarjaya Linggih, yang saat itu diduga masih menjabat sebagai komisaris. Posisi ini kemudian dialihkan kepada putranya, Agung Bagus Pratiksa Linggih, beberapa bulan kemudian.
Harga pengadaan APD yang awalnya mencapai Rp684 ribu per set juga menimbulkan kecurigaan, hingga akhirnya direvisi menjadi Rp294 ribu setelah negosiasi ulang. Praktik monopoli pun terungkap, di mana PT Permana Putra Mandiri (PPM) diwajibkan membeli APD hanya dari PT EKI. Dalam konstruksi perkara yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembayaran APD dilakukan tanpa kontrak resmi, bahkan dengan tanggal backdate. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebut kerugian negara mencapai Rp319 miliar.
KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, yaitu BS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, AT sebagai Direktur Utama PT PPM, dan SW yang menjabat Direktur Utama PT EKI. BS dan SW telah ditahan di rumah tahanan KPK untuk 20 hari pertama, sementara AT akan diperiksa pada jadwal berikutnya.
Nama anggota Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih, turut terseret dalam pusaran skandal ini. KPK memanggilnya sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai mantan komisaris PT EKI pada 2020. Pemeriksaan juga melibatkan Inspektur Jenderal Kemenkes, Murti Utami Andyanto, serta pejabat Bea Cukai, Pius Rahardjo.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ungkap Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, pada Senin (11/12/2023).
Kasus ini mencerminkan buruknya transparansi dalam pengadaan barang di tengah situasi darurat pandemi. Dengan kerugian negara yang begitu besar, publik mendesak agar penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu demi memulihkan kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Sementara itu, Gede Anggastia, Wakil Ketua DPD Aliansi Penyelamat Asset Negara Bali dan Aktivis Penggerak Anti Korupsi, mengungkapkan bahwa temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menunjukkan adanya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka.
“Pada bulan Agustus, sudah ada pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kenapa hingga kini KPK tidak berani menetapkan Gede Sumarjaya Linggih? Padahal, temuan BPK sangat jelas, termasuk pelanggaran pasal 12 UU Korupsi terkait keterlibatan pejabat aktif dalam proyek pemerintah,” ujar Anggastia.
Gede Anggastia sebagai Penggerak Anti Korupsi agar KPK tetap tegak lurus dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Mereka mendukung penuh langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang gencar mengedepankan upaya bersih-bersih korupsi.
“Ini bukan hanya soal uang negara, tapi juga soal nyawa rakyat yang menjadi korban dalam pandemi COVID-19 akibat korupsi. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas,” pungkas Anggastia.
Harapan Gede Anggastia, Kalau direksi sdh ditetapkan sebagai tersangka dan mulai diadili, makan jauh lebih penting aktor intelektual yg menyebabkan carut marut masalah APD di tengah – Tengah pemerintah dan elemen masyarakat berjuang menghadapi covid 19 dengan segala dampaknya, justru blm tersentuh. Krn kalau tidak ada pihak yang mendorong dan memfasilitasi yaitu Wakil Ketua Komisi VI yang membidangi BUMN masalah ini tidak mungkin terjadi. Untuk itulah elemen penggiat anti korupsi mendesak kpk demi keadilan diharapkan segera tetapkan aktor intelektual tersebut sebagai tersangka,”harap Gede Anggastia
[ Reporter : Sarjana ]