Oleh Laurent
Jakarta, Balijani.id – Berbicara tentang perubahan iklim berarti berbicara tentang risiko dan manajemen. Ada banyak hal terkait iklim yang berpotensi membuat kita mengalami mimpi buruk, bencana, sehingga perlu membangun kesadaran untuk melihat bersama berbagai driving factors yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Bagi kebanyakan orang ada jurang pemisah antara keasyikan kita dengan menjalani kehidupan sehari-hari dan hal abstrak bahkan cenderung apokaliptik tentang kekacauan akibat perubahan iklim di masa depan. Sekedar mengingatkan kembali bahwa perubahan iklim adalah situasi di mana peningkatan emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas produksi manusia dan berdampak pada peningkatan pemanasan iklim global yang dalam titik tertentu membahayakan masa depan keberadaan manusia. Namun masih sangat sedikit dari kita yang sadar dan mengambil tindakan serius baik di level personal atau komunal membangun kebiasaan (habit) untuk mengurangi produksi karbon sebagai kebiasaan baru, new normal, untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada kita. Faktanya adalah kita semua akan mengalami dampak perubahan iklim, dan bahkan untuk seorang environmentalis sejati sekalipun seorang diri tak akan sanggup menghasapi bahaya yang membayangi kehidupan kita, karena toh keseharian kita tetap ada kehidupan yang harus terus dijalani meski dengan keterbatasan di sana sini. Membangun kesadaran individual dan kolektif penting untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim.
Salah satu momentum penting bagi isu perubahan iklim dan berbagai tantangan ketika dijadikan bahasan utama dalam 144th Assembly of the Inter Parliamentary Union (IPU) di Bali. Puan Maharani, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sekaligus tuan rumah pelaksanaan IPU menegaskan bahwa bahasan terhadap isu-isu perubahan iklim telah menjadi prioritas dan harus direalisasikan bersama-sama, termasuk salah satunya melalui parlemen. Dengan relevansi besar kehidupan umat manusia dan potensi terjadinya malapetaka akibat pemanasan global, Majelis IPU ke-144 mengusung tema Getting to Zero: Mobilizing Parliaments to act on Climate Change”.
Masuknya isu perubahan iklim dalam forum parlemen dunia adalah menjawab adanya keterdesakan mengatasi krisis iklim. Salah kelompok yang dengan sangat keras menyuarakannya adalah kaum muda. Suara- suara anak muda yang juga aktivis lingkungan seperti Greta Thunberg dari Swedia atau Melati Wijsen dari Bali, melalui berbagai gerakan berambisi agar para pemimpin dunia juga melihat isu krisis iklim Ini dan menjadikannya sebagai agenda politik penting bukan nanti, bukan besok tapi sekarang. Kerusakan akibat dampak perubahan iklim sudah mulai terasa dalam 20 tahun terakhir. Degradasi lingkungan, deforestasi, pencemaran air laut dengan plastik, polusi udara yang berakibat pada meningkatnya racun pada udara yang kita hirup terus memburuk. Diperkirakan pada 2030 anak muda di dunia, khususnya anak muda Indonesia yang diprediksi akan menjadi mayoritas populasi karena bonus demografi akan mengalami dampak buruk akibat perubahan iklim, di mana suhu global akan memanas dengan peningkatan di atas 1 derajat. Bisa diprediksi bencana dan kerusakan yang disebabnyakan nanti.
Melihat perkembangan situasi iklim global, Puan maharani, melalui forum parlemen internasional memobilisasi komitmen dan aksi dunia pada isu perubahan. Puan setuju dengan berbagai seruan terutama dari anak muda bahwa situasi kita sudah semakin terdesak, penyelamatan iklim dunia mutlak dilakukan. Puan menyampaikan,”Parlemen perlu untuk memobilisasi pengurangan emisi, memperkuat adaptasi, dan merealisasi komitmen pembiayaan bagi negara berkembang.”
Perjanjian perjanjian global dan juga komitmen negara perlu terealisasi dan bentuk kebijakan-kebijakan yang pro iklim. Negara adalah aktor terpenting karena semua kekuasaan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim ada padanya terutama terkait dengan kebijakan baik itu kebijakan dalam negeri maupun kebijakan internasional termasuk pelaksanaan secara kolektif mitigasi dampak perubahan iklim. Agenda perubahan iklim masih memiliki pekerjan rumah panjang. Mulai dari mitigasi dengan percepatan pemanfaatan energi terbarukan sampai adaptasi yang dilakukan di level akar rumput. Menurut Puan transisi menuju energi terbarukan dengan dukungan teknologi dan investasi berarti membutuhkan komitmen bersama terutama mendorong agar ada dukungan dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang untuk berinvestasi mendukung agenda perubahan iklim.
Kembali ke peran anak muda dan bagaimana mereka bisa mengambil bagian dalam agenda perubahan iklim. Menyadari ketidaksabaran kaum muda terhadap pembentuka kebijakan politik terkait perubahan iklim Puan menjawab bahwa sudah menjadi tanggung jawab negara terhadap melindungi generasi muda dan juga generasi yang akan datang. “Tugas kita adalah meninggalkan bumi yang lebih hijau, lebih sehat, dibandingkan dengan yang kita warisi dari para pendahulu,” tegasnya. Anak muda berperan besar dalam diskusi terkait perubahan iklim, bahkan menurut Puan, ada urgensi besar memunculkan anggota parlemen muda, sehingga ada keterwakilan dalam penentuan kebijakan politik tentang perubahan iklim. Anak muda tak semestinya bersikap apatis, meski kadang butuh usaha lebih untuk membuat isu ini menjadi perhatian para pengambil kebijakan.
Melalui sidang forum IPU, Puan jadikan prioritas bahwa aspirasi dan pesan anak muda agar pembuat keputusan melihat hal-hal penting dalam merespon isu krisis iklim, bahwa parlemen adalah salah satu pintu penting dalam mewujudkan dunia yang lebih aman, adil, dan sejahtera.( Tim/Red )