Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
News  

Kesepekang Warga Adat Banyuasri Tuntas, MDA Bali Tegaskan Pemilihan Ulang

Singaraja, Balijani.id ~ Kesepekang atau sanksi adat yang diberikan kepada 11 Kepala Keluarga di Desa Adat Banyuasri, Kelurahan Banyuasri Kecamatan Buleleng berkaitan dengan penolakan yang dilakukan terhadap proses ngadengang atau pemilihan kelian adat bersama prajuru Desa Adat Banyuasri 2022 – 2027 akhirnya dituntaskan Sabha Kerta Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Bandesa Agung MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet selaku Ketua Sabha Kerta MDA Bali bersama Panyarikan Agung I Ketut Sumarta selaku Sekretaris dan 10 anggota dalam keputusan nomor 403/MDA-Prov Bali/XI/2022 tertanggal 15 Nopember 2022 telah menetapkan dan memutusan 10 keputusan berdasarkan adanya pengabaian dalam proses ngadengang atau pemilihan kelian adat bersama prajuru Desa Adat Banyuasri.

“Kesimpulan sabha kerta bahwa memperhatikan hasil temuan dan analisis terhadap hasil temuan terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh para termohon wicara terhadap hukum adat yang berlaku di Desa Adat Banyuasri,” ungkap Sabha Kerta dalam kesimpulannya.

Selain adanya pelanggaran, dalam kesimpulan juga menyebutkan, Prawartaka Ngadegang (Panitia Pemilihan) Kelian Desa terbukti melakukan tindakan pengabaian terhadap ketentuan keputusan paruman Desa Adat Banyuasri berkaitan dengan tata cara ngadegang kelian desa dan prajuru desa adat Banyuasri.

Pada point ketiga kesimpulan yang menyebabkan 11 KK kesepekang juga akibat Kertha Desa Adat Banyuasri tidak melaksanakan mekanisme penyelesaian perselisihan sesuai dengan paruman Desa Adat Banyuasri termasuk Kertha Desa dinilai dan terbukti telah melampaui kewenangannya dalam memberikan rekomendasi dengan menjatuhkan sanksi adat.

“Bahwa prajuru desa adat Banyuasri terbukti telah melakukan pengabaian terhadap awig-awig Desa Pakraman Banyuasri, Cakepan I Perarem Penyahcah Awig Desa Pakraman Banyuasri, Keputusan MUDP III/2010 dan Keputusan paruman Desa Adat Banyuasri – Perarem Nomor 1 tahun 2021 tentang tata cara ngadegang kelian desa dan prajuru desa adat Banyuasri dalam konteks penjatuhan saksi adat kesepekang,” tulis kesimpulan Sabha Kerta pada point keempat.

Berdasarkan hal itu, Sabha Kerta MDA Provinsi Bali secara tegas menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon wicara untuk seluruhnya, diantaranya membatalkan seluruh proses ngadegang kelian desa dan prajuru desa adat masa bakti 2022 – 2027 dengan segala akibat hukumnya. Selain itu juga diputuskan kelian desa dan prajuru desa adat masa bakti 2017 – 2022 untuk tetap melaksanakan tugas dan wewenang hingga terpilihnya kelian desa dan prajuru desa adat Banyuasri serta memerintahkan dan mewajibkan kelian desa dan prajuru desa adat untuk melakukan proses ulang ngadengang atau pemilihan kelian adat bersama prajuru Desa Adat Banyuasri 2022 – 2027 selambat-lambatnya satu tahun setelah keputusan diterima.

Selain itu, dengan adanya pelanggaran atau pengabaian yang dilakukan pihak termohon wicara diantaranya, Prawartaka Ngadegang Kelian Adat, Kertha Desa dan Prajuru Desa Adat Banyuasri, secara tegas Sabha Kerta MDA Provinsi Bali memerintahkan dan mewajibkan kelian desa dan prajuru desa adat Banyuasri untuk mencabut sanksi adat kesepekang terhadap 11 krama adat setempat.

11 Krama Adat yang kesepekang diantaranya, Jro Mangku Gede Sidarta, Drs. Made Suyasa, Jro Mangku Gede Ketut Widana Gieri, Jro Mangku Ketut Pasek, Drh. Ketut Suwardana, Jro Mangku Nyoman Sri Kurniata Mahasuta, I Putu Sujana, Drs. Putu Suarsana, Jro Mangku Nyoman Trisna Mahayana, Ketut Budiasa dam Ir. I Nyoman Sri Karyana Dyatmika.

Atas kesepakatan dan putusan tersebut, Made Suyasa sebagai salah satu pemohon wicara menyebutkan secara detail proses yang dilakukan saat pembentukan Prawartaka Ngadegang (Panitia Pemilihan) Kelian Desa dan Prajuru Desa Adat.

“Diawali tanggal 16 januari 2022 paruman dengan acara pembentukan panitia, pengkondisian kelian adat, menyinggung terkait awig-awig desa adat, langsung di jawab oleh kelian adat, tidak perlu berbicara awig, sampai akhirnya terbentuk kepanitiaan. Seperti yang tidak boleh masuk prawartaka itu dilegalkan, misalnya lurah kan pejabat publik, tidak boleh menjadi bagian ketua prawartaka, kemudian anggota kerta desa itu juga menjadi anggota prawartaka, di perarem disebutkan kerta desa nanti tugasnya adalah menyelesaikan perselisihan apabila ada perselisihan sengketa. Sebenarnya tidak boleh sesuai dengan perarem ngadegang, yang boleh duduk di kepanitiaan dalam hal dari unsur krama wed aja sebenarnya. Kelian banjar, yang tidak ikut medesa jadi anggota panitia, sudah kelihatan,” beber Suyasa.

Diungkapnya juga tahap-tahap selanjutnya ada sejumlah kejanggalan yang terus dilakukan termasuk melanggar perarem dan awig-awig yang telah disepakati dalam proses ngadengang tersebut hingga kemudian muncul penolakan yang dilakukan 13 Kepala Keluarga dan kemudian menjadi 11 KK.

“Karena itu kita tetap melakukan perlawanan. Tanggal 25 Pebruari 2022, diadakan paruman yang pertama menjabarkan nyepi, yang kedua sanksi adat, yang ketiga acara lain-lain. Yang kedua adanya pemecatan dengan catatan pemecatan akan berakhir apabila melakukan pacaruan, guru piduka, dan lain-lain. Tapi karena kita merasa tidak bersalah, kita tetap berkordinasi dengan MDA sampai diadakan mediasi kecamatan atas printah MDA provinsi. MDA Kecamatan dua kali mediasi tapi gagal dan tetap pengenaang sanksi adat kepad 11 orang kenapa tidak 13 karena 2 orang ngaturang guru piduka, sehingga dia lepas,” ujar Suyasa.

Keputusan Sabha Kerta MDA Provinsi Bali tersebut mendapat penolakan krama setempat. Mengingat, sebelumnya sudah dilakukan proses Ngadegang Kelian Desa dan Prajuru Desa Adat Banyuasri masa bakti 2022-2027 yang menjadikan Nyoman Mangku Widiasa kembali terpilih sebagai Kelian Desa Adat Banyuasri.

Wakil Kelian Desa Adat Banyuasri, Nyoman Sadwika mengatakan, keputusan MDA Bali terkesan memihak para pemohon wicara (11 orang kesepekang yang membuat dan menandatangani surat penolakan Ngadegang Kelian Desa Adat Banyuasri).

“Keputusan ini memihak. Apa yang kami berikan informasi saat sidang di Provinsi selaku para Termohon tidak muncul dalam keputusan ini,” kata Sadwika.

Mestinya, penyelesaian persoalan ini dilakukan melalui mediasi di MDA Kecamatan. Jika gagal di Kecamatan, mestinya dilakukan penyelesaian di MDA Kabupaten, namun justru hal itu tidak dilakukan melainkan membawa persolan ini ke MDA Provinsi Bali. Terlebih lagi, keputusan MDA Bali bersifat final.

“Sebenarnya 11 orang kesepekang itu, hanya membuat guru piduka dan meminta maaf. Mungkin kaca mata MDA, kesepekang itu berat. Mereka membuat surat ke MDA Provinsi, mestinya ke Kerta Desa selesaikan secara Internal. Saat dipertemukan Kerta Desa, ada fakta tuduhan mereka itu tidak berdasar dan mereka juga mengakui,” ujar Sadwika.

Adanya penolakan terhadap hasil keputusan MDA Bali, Nyoman Mudita, SH sebagai kuasa hukum 11 KK yang kesepekang sangat menyayangkan hal itu, sebab MDA Provinsi Bali sebagai lembaga tertinggi adat telah diabaikan untuk kepentingan individu dan kelompok.

“Setiap pihak yang dibebankan itu harus melaksanakan, tidak ada desa bali yang tidak manut kepada MDA, karena MDA adalah induk dari organisasi desa adat diB ali. Tidak lagi berbicara otoritas, tapi ini menyangkut kewenangan dan wewenang. Pihak yang termohon harus melaksanakan MDA itu dan MDA itu hrus memfollowup, menanyakan langsug sekalian datang ke Buleleng, menanyakan kepad prajuru yang dulunya disidangkan kepada kertasabhanya di MDA sudah dikatakan tidak sesuai oleh karena itu kewenangan dan wewenang ada di MDA untuk memasukan kembali karena semua tidak terbukti 13 KK ini,” ungkap Mudita.

Mudita juga mengingatkan keputusan awig-awig Desa Pakraman Banyuasri yang menjadi landasan dasar munculnya wicara sampai ke MDA serta telah disikapi MDA dengan menuangkan secara adil, sehingga keputusan itu harus dilakukan sebab MDA dibangun oleh Gubernur.

“Saya menghimbau laksanakan putusan MDA itu, yang kedua 1 bulan tidak dilaksanakan, MDA pusat turun ke Buleleng dan apapun konsekuensinya karena ini ada hukum juga. Baik perdata maupun pidana. Secara pidana ini dilarang ditanah kelahiran sendiri. Saya berharap semua pihak mari berbesar hati, kita bngun Banyuasri ini dengan kseimbangan sesuai dengan awig-awig desa, yang dibangun oleh leluhur dahulu itulah disebut desa mawicara,” papar Advokat asal Buleleng itu.

Dengan masih belum adanya langkah-langkah penyelesaian berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di Desa Pakraman Banyuasri, pihak-pihak terkait dengan hal itu diharapkan mampu melakukan langkah-langkah secara persuasif dan memberikan ketegasan.[ BJ/TIM ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *