News  

Dilema Aktivisme di Yogyakarta: Saat Batu dan Api Mematikan Ruang Dialog Demokrasi

Yogjakarta, Balijani.id| Aktivis Hak Asasi Manusia sekaligus Dewan Pembina Constitutional Law Study (CLS), Abdul Haris Nepe, menyoroti fenomena hilangnya substansi perjuangan dalam gerakan mahasiswa kontemporer.
Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi bertajuk Dilema Gerakan Mahasiswa: Terkuburnya Substansi Tuntutan di Bawah Tumpukan Puing Kerusuhan yang diselenggarakan oleh CLS Yogyakarta pada Jumat, 19 Desember 2025.

Kegiatan yang berlangsung di Banguntapan, Bantul ini dihadiri oleh puluhan aktivis dan mahasiswa dari berbagai latar belakang.
Dalam forum tersebut, Abdul Haris menekankan bahwa gerakan mahasiswa sejatinya adalah kompas moral bangsa yang berperan menjaga arah demokrasi. Namun, ia melihat adanya degradasi metode perjuangan yang kini cenderung reaktif dan destruktif.

Menurut Abdul Haris, anarkisme bukanlah simbol kekuatan sebuah gerakan, melainkan tanda kegagalan dalam berkomunikasi. Ia menegaskan bahwa ketika ruang publik dipenuhi dengan tindakan kekerasan, maka pada saat yang sama ruang dialog akan mati.
Tindakan anarkis dinilai justru menciptakan jarak antara mahasiswa dan masyarakat sipil, yang mengakibatkan hilangnya modal sosial akibat dampak langsung seperti kerusakan fasilitas umum.

Lebih lanjut, ia menilai kerusuhan dalam aksi massa sering kali mengaburkan pesan utama perjuangan. Media massa cenderung lebih banyak menyoroti aspek kekerasan ketimbang substansi tuntutan yang dibawa.Hal ini memberikan peluang bagi pihak penguasa untuk mendelegitimasi gerakan tanpa harus memberikan jawaban atas persoalan kebijakan yang sedang dikritik oleh mahasiswa.

Abdul Haris mengingatkan bahwa sejarah Indonesia lahir dari perdebatan ide yang kuat, bukan kekacauan tanpa arah. Di era informasi saat ini, ia mendorong gerakan mahasiswa untuk bertransformasi menjadi penghasil solusi melalui jalur konstitusional, seperti penyusunan policy brief atau pengajuan judicial review.

Ia menutup diskusi dengan menegaskan bahwa aktivisme memerlukan kecerdasan taktis agar demonstrasi tidak sekadar menjadi ritual tahunan yang melelahkan tanpa menghasilkan perubahan sistemik.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *