News  

Bisnis Sampah di Balik Upaya Menggagalkan Penutupan TPA Suwung

Denpasar, Balijani.id| Penolakan terhadap penutupan TPA Suwung tidak seluruhnya lahir dari kepedulian lingkungan atau keresahan warga. Di balik hiruk-pikuk pernyataan publik, terselip aroma bau amis bisnis yang selama ini berjalan senyap, nyaris tak tersentuh pengawasan

Selama bertahun-tahun, terbentuk sebuah pola yang nyaris dianggap normal. Di tingkat bawah, muncul banyak pihak yang mengaku sebagai pengelola sampah. Mereka memungut iuran rutin dari rumah tangga, banjar, perumahan, hingga pelaku usaha. Labelnya beragam, jasa angkut, pengelolaan lingkungan, bahkan ada yang mengklaim berbasis TPS3R. Namun pada praktiknya, pengolahan sering kali tidak pernah terjadi

Sampah dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang ke satu titik yang sama yaitu ke Suwung. Modelnya sederhana, nyaris brutal, angkut buang bayar. Tidak ada pemilahan serius. Tidak ada pengolahan di sumber. Tidak ada pengurangan residu. Yang penting truk bergerak, sampah pergi dari mata warga, dan iuran terus mengalir.

Ironisnya, di Suwung sendiri, praktik itu tidak gratis. Setiap pembuangan harus juga membayar. Dan di sinilah mata rantai berikutnya muncul. Beredar cerita yang konsisten dari berbagai sumber lapangan tentang setoran-setoran informal yang mengalir ke oknum tertentu. Bukan retribusi resmi yang masuk kas negara, melainkan pungutan yang hidup dari kelonggaran sistem dan pembiaran panjang.

Selama Suwung terbuka, semua mata rantai itu hidup. Pengelola palsu tetap bisa menarik iuran.
Truk tetap bisa keluar masuk.
Uang tetap berputar tanpa insentif sedikit pun untuk membenahi sistem.
Maka wajar jika penutupan TPA Suwung memicu kepanikan. Bukan semata karena belum siap, melainkan karena sumber penghidupan oknum-oknum tertentu terancam berhenti. Ketika Suwung ditutup, model bisnis instan itu runtuh. Sampah tak lagi punya tempat buang murah dan cepat. Pengelola gadungan dipaksa menjawab pertanyaan yang selama ini dihindari, selama ini ke mana sampah itu sebenarnya diolah?

Di titik inilah narasi publik mulai dipelintir. Penutupan diposisikan sebagai ancaman bagi warga. Provinsi disalahkan. Istilah teknis diputar-putar. Isu tanpa solusi digoreng. Padahal yang terancam bukan kebersihan semata, melainkan kenyamanan bisnis sampah yang selama ini nyaris tanpa risiko.
Padahal undang-undang sudah lama mengubah arah. Sampah wajib diolah di sumber. TPS3R dan TPST adalah keharusan. TPA hanya untuk residu. Model kumpul angkut buang sejatinya sudah kadaluwarsa secara hukum. Tapi selama ada Suwung, hukum itu seperti bisa dinegosiasikan.

Karena itu, resistensi yang muncul patut dibaca lebih dalam. Bukan sekadar perbedaan pandangan kebijakan, melainkan pertarungan antara penegakan hukum dan ekonomi bayangan. Antara sistem yang ingin dibenahi dan praktik lama yang sudah telanjur menguntungkan banyak pihak.
Publik berhak curiga. Siapa yang paling keras menolak penutupan? Siapa yang paling panik ketika akses pembuangan dihentikan? Dan siapa yang selama ini menikmati aliran uang dari sampah yang tak pernah benar-benar dikelola?
Karena pada akhirnya, penutupan Suwung bukan sekadar soal sampah. Ia adalah upaya membongkar ekonomi gelap yang tumbuh dari pembiaran. Dan setiap pembongkaran, hampir selalu memunculkan perlawanan dari mereka yang selama ini diuntungkan.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *