News  

TPA Suwung Ditutup, Solusi Sudah Ada dalam Undang-Undang

Denpasar, Balijani.id| Tudingan bahwa penutupan TPA dilakukan tanpa solusi berangkat dari kekeliruan mendasar. Seolah negara baru memikirkan sampah ketika pintu TPA Suwung ditutup. Padahal sejak lama, solusinya sudah tersedia dan tertulis rapi dalam undang-undang. Yang kerap hilang bukan gagasan, melainkan kesungguhan menjalankannya.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tidak pernah menempatkan TPA sebagai pusat segalanya. Negara justru memerintahkan pengelolaan sampah dimulai dari sumbernya.
Rumah tangga memilah, lingkungan memiliki TPS3R, pemerintah kabupaten/kota membangun dan mengelola TPST, sementara TPA hanya menampung residu sisa terakhir yang benar-benar tak bisa diolah. Skema ini bukan barang baru, bukan pula wacana futuristik. Ia adalah kewajiban hukum yang seharusnya sudah berjalan lebih dari satu dekade.

Ketika sistem ini tak berfungsi, persoalannya jelas, bukan karena solusi tidak ada, melainkan karena kewajiban dibiarkan tak dikerjakan. Ketergantungan pada satu TPA dengan praktik open dumping adalah kebiasaan lama yang sejak awal sudah dinyatakan salah oleh negara.
Pertanyaan klasik pun kembali muncul, jika TPA ditutup, sampah dibuang ke mana? Undang-undang sebenarnya telah lama menghapus istilah membuang dari cara pandang pengelolaan sampah. Sampah harus diolah, bukan ditimbun. TPA hanya boleh menampung sisa olahan, dan itu pun dengan sistem yang memenuhi standar lingkungan. Open dumping dilarang tegas.
Larangan itu sudah jelas sejak UU 18 Tahun 2008. Membiarkan open dumping bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bisa berujung pidana lingkungan. Karena itu, penutupan TPA yang melanggar hukum bukan pilihan kebijakan, melainkan kewajiban negara.

Soal tanggung jawab pun kerap disalahpahami. Pengangkutan dan pengelolaan sampah rumah tangga adalah kewajiban pemerintah kabupaten/kota. Mereka wajib melayani dan wajib mampu, karena itulah perintah undang-undang. Pemerintah provinsi hanya menyusun kebijakan umum, melakukan pembinaan, dan pengawasan. Maka ketika sampah di rumah warga tak terangkut berhari-hari, itu bukan kesalahan provinsi.

Ketidakmampuan juga bukan alasan pembenar. Jika kabupaten/kota lalai atau membiarkan sampah menumpuk hingga mencemari lingkungan, sanksi hukum menanti. Mulai dari teguran administratif, paksaan pemerintah, hingga pidana lingkungan.

Bagi warga, pilah sampah di rumah, pisahkan organik dan anorganik agar tidak menimbulkan bau dan risiko kesehatan. Jika sampah tidak diangkut, laporkan secara resmi ke kelurahan atau desa, ke Dinas Lingkungan Hidup kabupaten/kota, atau melalui SP4N–Lapor! agar negara hadir melalui mekanisme yang bisa diawasi.

TPA ditutup karena melanggar hukum. Tapi, layanan sampah tetap wajib berjalan. Dan sesuai undang-undang, tanggung jawab utamanya berada di tangan pemerintah kabupaten/kota.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *