Denpasar, Balijani.id| Sebuah surat lama kembali beredar. Dipotong dari konteksnya, disebar ulang, lalu dijadikan alat tuding. Polanya familiar. Ketika urusan sampah kembali buntu, satu nama harus diseret ke depan, yaitu Gubernur Bali Wayan Koster.
Padahal keputusan yang kini dipersoalkan itu bukan keputusan pribadi gubernur. Ia lahir dari rapat lintas kementerian, di tengah penanganan sampah Bali yang kala itu ditangani langsung pemerintah pusat dalam kerangka agenda dunia G20 tahun 2022.
“Saya tidak pernah mengambil keputusan sendiri soal pembatalan pengolahan sampah menjadi energi listrik di TPA Suwung. Itu keputusan rapat lintas kementerian, atas arahan Menko Maritim dan Investasi serta Menteri PPN/Bappenas,” ungkap Gubernur Koster kepada wartawan dalam pesan singkat, Sabtu (13/12/2025).
Konteks inilah yang kerap sengaja dihilangkan. Publik digiring percaya bahwa satu surat adalah bukti tunggal kegagalan. Padahal di baliknya ada persoalan regulasi yang tidak bisa ditabrak begitu saja.
“Dengan aturan yang berlaku saat itu, PLN menolak membeli listrik hasil pengolahan sampah. Kalau tidak ada offtaker, proyek dipaksakan justru berpotensi merugikan negara,” kata Koster.
Keputusan itu bukan berhenti, melainkan berbelok. Pemerintah pusat kemudian membangun fasilitas pengolahan dengan dana APBN. Untuk Denpasar, dibangun tiga unit TPST yang secara desain diperhitungkan mampu mengolah hingga 1.000 ton sampah per hari.
Selain itu, pemerintah pusat juga membangun lebih dari 100 unit TPS3R yang tersebar di Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, dan kabupaten lainnya. Namun, ketersediaan infrastruktur ternyata tidak otomatis menyelesaikan persoalan.
“Persoalannya bukan fasilitasnya tidak ada. Banyak yang tidak dioperasikan optimal oleh pemerintah kabupaten dan kota,” singgung Koster.
Di sinilah persoalan sesungguhnya muncul. Sejak 2019, Bali sebenarnya sudah memiliki arah kebijakan yang jelas. Pergub tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber diterbitkan, lengkap dengan pembagian peran yang tegas: provinsi mengatur arah dan regulasi, sementara pelaksanaan teknis berada di tangan kabupaten/kota hingga desa dan desa adat.
“Pergub itu jelas. Pengelolaan teknis ada di tangan bupati dan wali kota sampai ke desa dan desa adat,” tegasnya.
Namun selama bertahun-tahun, banyak daerah memilih berada di zona nyaman. Sampah dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang. TPA Suwung dijadikan tempat pelarian terakhir, bukan solusi. Padahal lokasi itu berdiri di atas persoalan hukum yang serius.
“TPA Suwung berada di kawasan Tahura Ngurah Rai, lahan milik pemerintah pusat. Praktik open dumping di kawasan hutan adalah pelanggaran hukum. Kalau itu dibiarkan, semua pemimpin bisa berhadapan dengan pidana lingkungan,” ungkapnya.
Koster menegaskan, persoalan sampah tidak bisa diselesaikan dengan logika toleransi pelanggaran.
“Bagaimana bisa menegakkan hukum jika urusan sampah saja kita langgar bertahun-tahun? Seakan-akan ketika solusi belum siap, maka melanggar hukum boleh dilakukan. Kita lupa bahwa hukum tidak menunggu kesiapan. Hukum menuntut kepatuhan,” tegas Koster.
Ketika akhirnya penutupan TPA Suwung diperintahkan pemerintah pusat, kepanikan pun pecah. Dan seperti yang sudah-sudah, arah kemarahan kembali mengerucut ke satu titik. Media sosial berubah menjadi ruang penghakiman.
“Saya memilih menegakkan aturan meskipun harus menerima cacian. Lebih baik dimarahi hari ini daripada membiarkan Bali terus melanggar hukum dan mewariskan krisis lingkungan ke generasi berikutnya,” tutup Gubernur Koster.
[ Editor : Sarjana ]












