News  

Polemik Sampah, Tak Ada Pilihan: Pidana atau Kuatkan TPS3R Berbasis Sumber

Denpasar, Balijani.id| Penutupan total TPA Suwung pada 23 Desember 2025 mendatang bukan hanya pengumuman administratif, melainkan garis keras yang menandai berakhirnya era buang ke Suwung dan selesai.

Selama bertahun-tahun, TPA Suwung menjadi pelarian terakhir dari ketidakdisiplinan banyak wilayah, menjadi tempat yang menampung bukan hanya sampah, tetapi juga kelalaian, pembiaran, dan minimnya kepemimpinan dalam mengelola masalah paling dasar: sampah rumah tangga.

Yang tidak banyak diketahui publik adalah bahwa keputusan menutup Suwung ini bukan sekadar pertimbangan kebijakan. Ada ancaman hukum yang nyata di baliknya. Undang-Undang 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengandung pasal-pasal pidana yang menjerat pejabat pemerintah bila lalai menangani sampah hingga menimbulkan pencemaran atau gangguan kesehatan masyarakat.

Artinya, jika daerah terus membuang sampah ke tempat yang sudah tidak memenuhi syarat lingkungan, pejabat yang bertanggung jawab bisa terlibat masalah hukum. Inilah pemicu besar di balik langkah provinsi mencegah Bali terjerumus dalam krisis sampah sekaligus menghindarkan para pemimpin daerah dari jeratan pidana akibat pembiaran

Pada titik inilah Gubernur Bali Wayan Koster mendorong percepatan pengelolaan sampah berbasis sumber di seluruh desa, kelurahan, dan desa adat. Sebab data menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen sampah di Bali berasal dari desa dan rumah tangga. Dengan volume mencapai ribuan ton per hari, tidak ada sistem teknologi besar mana pun yang mampu menyelesaikannya jika perilaku dasar masyarakat dan sistem desa tetap pasif. Desa bukan hanya sumber sampah tetapi juga desa adalah kunci penyelesaian.
Faktanya, setelah enam tahun program TPS3R berjalan, perbedaan antar desa sangat mencolok. Ada desa-desa yang bekerja dengan disiplin, melakukan pemilahan, menegakkan pararem, dan menyelesaikan sampahnya di tingkat lokal tanpa bergantung pada TPA.

Desa seperti Punggul, Taro, dan Cemenggaon membuktikan bahwa sistem itu bisa berjalan bila ada kepemimpinan yang berani mengambil keputusan. Mereka menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah bukan perkara anggaran, bukan soal alat, melainkan persoalan kemauan, kepemimpinan, dan keberanian menata perilaku masyarakat.

Sebaliknya, masih banyak desa yang hanya rajin rapat namun takut menegakkan aturan. TPS3R dibangun, tetapi tidak dijalankan. Fasilitas tersedia, tetapi dibiarkan mangkrak. Sampah tetap dikumpulkan tanpa dipilah, lalu diserahkan ke truk dengan harapan muatan itu akan hilang begitu masuk ke Suwung.

Kini jalan pintas itu sudah tidak ada lagi. Setelah 23 Desember 2025, setiap desa harus siap menerima kenyataan bahwa tidak ada tempat pelarian. Jika sampahnya mencemari lingkungan, jika warganya membuang seenaknya, jika pemimpinnya tidak bergerak, konsekuensi hukumnya nyata.

Karena itu Bali tidak lagi punya ruang untuk menunda. Desa harus memperkuat TPS3R, mengatur pemilahan dari rumah tangga, menata sistem pengawasan, dan membangun budaya literasi lingkungan.

Pemerintah provinsi telah menyiapkan insentif bagi desa yang bekerja keras, tetapi juga sanksi bagi desa yang malas. Di era setelah penutupan TPA Suwung, desa yang mengabaikan tanggung jawab pengelolaan sampah bukan hanya berpotensi menciptakan bencana lingkungan, tetapi juga dapat membawa pemimpinnya ke dalam masalah hukum yang berat.

Gerakan Bali Bersih Sampah bukan sekadar program pemerintah. Ini adalah pertaruhan harga diri pulau dewata. Bila desa tidak mampu mengelola sampahnya sendiri, mustahil Bali menjaga warisan budaya, lanskap alam, dan reputasi dunia yang selama ini menopang ekonomi masyarakatnya.

Penutupan TPA Suwung adalah babak baru. Dan pilihan Bali kini sangat sederhana. Kuatkan TPS3R berbasis sumber atau berhadapan dengan ancaman pidana yang mengintai setiap pembiaran. Tidak ada lagi ruang berkelit. Yang tersisa hanya dua jalan, bekerja atau menanggung akibatnya.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *