Denpasar, Balijani.id| Bali hari ini seperti pulau yang dikuliti hidup-hidup. Lihat Canggu, jalan kampung berubah jadi lorong vila mewah, suara gamelan tenggelam oleh dentum beach club, dan air tanah habis disedot kolam renang yang jumlahnya lebih banyak dari rumah warga. Berawa tidak jauh beda, deretan vila tanpa izin berdiri rapat, memasang tarif jutaan per malam, tetapi satu rupiah pajak pun tidak masuk ke kas daerah.
Di Uluwatu, tebing suci yang dulu sepi kini dijejali homestay dan villa Airbnb yang dibangun tanpa tata ruang, menutup pandangan laut dan memaksa jalan desa menanggung beban ribuan motor sewaan setiap hari.
Di Ubud, rumah tradisional dipotong menjadi kamar-kamar kecil untuk turis short stay. Sementara di Sanur, gang kecil dekat pantai kini penuh properti sewa harian yang tidak tercatat dalam sistem resmi.
Semua tampak rapi di aplikasi
Tapi di lapangan? Berantakan. Bali kehilangan kendali atas ruangnya. Dan yang paling terasa, kebocoran ekonomi makin menggila. Total lebih dari 120 ribu unit non-hotel di Bali, sebagian besar disewa harian. Ribuan di antaranya tidak punya izin usaha, tidak bayar pajak, tidak lapor TAMU, bahkan tidak tercatat keberadaannya.
Jika satu unit Airbnb tarifnya Rp700–1,5 juta per malam dengan okupansi 50–70%, maka kebocoran pajak mudah menembus Rp100 miliar per bulan. Bali yang menanggung bebannya, Airbnb yang memanen keuntungannya.
Sementara itu sampah di Canggu naik dua kali lipat dalam lima tahun. Air tanah di Uluwatu menyusut drastis. Jalan desa di Ubud semakin sempit oleh lalu lintas tamu. Dan di Berawa, warga terpaksa menyewa rumah di desa lain karena harga tanah melejit tak masuk akal akibat ledakan vila.
Di tengah situasi ini, Gubernur Wayan Koster tidak lagi berbicara dengan nada diplomatis.
“Ini akan kami ajukan untuk disetop,” ucap Gubernur Koster pekan kemarin.
Kalimat pendek itu seperti rem darurat yang akhirnya ditarik setelah puluhan ribu properti ilegal memporak-porandakan pasar pariwisata Bali.
Hotel-hotel resmi membayar pajak, mempekerjakan warga lokal, mengikuti prosedur, dan menjaga standar. Sementara vila gelap di Canggu–Berawa–Uluwatu dan kawasan lain beroperasi tanpa beban, hanya bermodal listing online lalu menghitung uang.
Ini bukan sekadar persaingan tidak sehat. Ini penjajahan ekonomi gaya baru. Jika dibiarkan, Bali akan berubah total. Warga tersingkir, ruang habis, identitas hilang, dan pulau ini tinggal jadi etalase properti Airbnb.
Karena itu garisnya kini sangat jelas dan keras. Airbnb ilegal harus berhenti. Bali tidak boleh terus dijarah dengan dalih pariwisata. Koster menekan tombol STOP bukan untuk menghambat wisata, tapi untuk menyelamatkan Bali sebelum pulau ini benar-benar hilang dari tangan masyarakatnya sendiri.
[ Editor : Sarjana ]












