Jakarta, Balijani.id| 8 November 2025 — Pernyataan tajam dilontarkan Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang kini dikenal sebagai pengamat intelijen, hukum, dan keamanan nasional. Ia menilai gagasan yang menempatkan Polri sebagai penyidik utama bukan hanya keliru secara konstitusional, tetapi juga berpotensi menciptakan lembaga superbody yang kebal dari pengawasan hukum.
Dalam tulisan yang diunggah di laman pribadinya berjudul “Tanggapan Akademik: Jaksa Wajar Alergi Terhadap Istilah Penyidik Utama”, Ponto menegaskan bahwa sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah tersebut justru merupakan bentuk kewaspadaan kelembagaan yang sehat. Ia menilai, bila konsep ini diterima tanpa kajian mendalam, maka sistem hukum nasional bisa bergeser dari prinsip checks and balances menjadi sistem tunggal yang membuka celah penyalahgunaan wewenang.
> “Menegakkan hukum bukan berarti berhak menyidik segala sesuatu. Kalau tafsir pasal dibuat seenaknya, kita sedang melahirkan kekuasaan baru di balik seragam penegak hukum,” sindir Ponto dalam tulisannya yang kini ramai diperbincangkan kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Ponto menegaskan, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyebut Polri sebagai penegak hukum tidak bisa dimaknai bahwa Polri memiliki kewenangan eksklusif dalam penyidikan. Ia menjelaskan, menegakkan hukum adalah fungsi umum yang mencakup berbagai lembaga, sementara penyidikan hanyalah satu bagian dari rangkaian proses penegakan hukum.
“Kalau istilah penyidik utama diterima, maka Kejaksaan, KPK, PPNS, dan bahkan Polisi Militer TNI akan kehilangan posisi sejajarnya dalam sistem hukum nasional,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kecenderungan sebagian pihak menggunakan istilah primary investigator untuk memberi kesan akademik pada gagasan tersebut. Padahal, menurutnya, istilah itu tidak dikenal dalam sistem hukum nasional dan bisa menimbulkan kesan bahwa Polri berhak mengomando lembaga penegak hukum lainnya.
“Koordinasi bukan komando. Tidak ada dasar hukum yang menempatkan Polri di atas lembaga penyidik lain. Kalau ini dibiarkan, maka konsep negara hukum bisa berubah jadi negara kekuasaan,” ujar mantan Kepala BAIS itu.
Lebih lanjut, Ponto mengingatkan bahwa fungsi koordinasi Polri terhadap PPNS yang diatur dalam KUHAP maupun UU Polri bersifat administratif semata. PPNS dibentuk oleh undang-undang sektoral dengan mandat penyidikan khusus (lex specialis), sehingga secara kelembagaan kedudukannya setara dengan lembaga penyidik lainnya.
Ia menegaskan, tafsir yang salah terhadap koordinasi ini dapat menimbulkan tumpang tindih dan bahkan dominasi kelembagaan yang berbahaya.
Dalam pandangannya, keberatan Jaksa terhadap istilah penyidik utama justru adalah sinyal bahwa Kejaksaan masih memegang teguh perannya sebagai pengendali proses hukum agar tetap proporsional dan tidak disalahgunakan.
“Sikap itu bukan bentuk rivalitas antar lembaga, tetapi bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjaga keseimbangan hukum nasional,” tulisnya.
Ponto pun menutup analisisnya dengan nada tegas: “Negara hukum tidak boleh memberikan monopoli kebenaran kepada satu lembaga. Jika penyidikan hanya boleh dilakukan oleh satu pihak, maka fungsi kontrol mati, dan keadilan ikut dikubur bersamanya.”
Pernyataan keras ini langsung menjadi sorotan di kalangan penegak hukum dan akademisi. Banyak yang menilai, kritik Ponto menjadi peringatan dini terhadap bahaya perubahan struktur hukum yang mengarah pada sentralisasi kekuasaan penyidikan. Dalam situasi di mana pembahasan revisi KUHAP dan reformasi kelembagaan penegak hukum sedang berlangsung, pandangan mantan Kepala BAIS tersebut dianggap sebagai alarm akademik agar hukum tetap menjadi pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan.
[ Editor : Sarjana ]












