Demi Investor? Dalih Pasal 107, Kanwil BPN Bali Fasilitasi PT SBH Rebut Tanah Negara

Denpasar, Balijani.id| Pernyataan resmi Kantor Wilayah (Kanwil) ATR/BPN Provinsi Bali pada 27 Agustus 2025 terkait sengketa tanah di Desa Pancasari, Buleleng, menuai kritik keras. Pasalnya, lembaga negara yang semestinya menjadi penjamin kepastian hukum dinilai justru membuka jalan bagi PT Sarana Buana Handara (PT SBH) untuk kembali menguasai tanah negara, padahal Hak Guna Bangunan (HGB) perusahaan itu sudah berakhir sejak 2012.

Lahan seluas 6,7 hektare yang sebelumnya berstatus HGB No. 44 atas nama PT SBH telah lama ditempati dan digarap oleh 11 warga Desa Pancasari secara turun-temurun, bahkan jauh sebelum HGB tersebut diterbitkan. Fakta itu semakin diperkuat dengan verifikasi resmi Perkim Kabupaten Buleleng bersama Kejaksaan Negeri, Polres, dan Danramil Buleleng yang menyatakan tanah tersebut berstatus tanah negara serta mengakui keberadaan 11 warga sebagai penggarap sah. Atas dasar itu pula, plang milik PT SBH sudah diturunkan.

Namun, alih-alih mempertegas keputusan mediasi pada tanggal 6 Januari 2025, Kanwil ATR/BPN Bali justru mengeluarkan pernyataan yang memberi ruang kembali kepada PT SBH. Dalihnya, fasilitasi mediasi dilakukan merujuk Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 dan PP No. 18 Tahun 2021, di mana bekas pemegang HGB disebut memiliki hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak kembali.

Logika hukum ini langsung menuai sorotan. Pasal 107 PP No. 18 Tahun 2021 jelas mengatur bahwa hak prioritas hanya berlaku bila permohonan diajukan dalam jangka waktu dua tahun sejak HGB berakhir. Faktanya, PT SBH sudah 13 tahun lalai tanpa mengurus perpanjangan. Dengan sendirinya, hak prioritas itu gugur otomatis.

“Kalau aturan itu tetap dipaksakan untuk PT SBH, jelas bentuk pembodohan publik. Hak prioritas sudah kedaluwarsa, sementara penguasaan fisik dan sosial di lapangan justru dipegang 11 warga yang sah,” tegas Ketua Garda Tipikor Indonesia (GTI) Buleleng, Gede Budiasa, Rabu (27/8).

Budiasa menambahkan, argumen BPN soal riwayat pelepasan hak oleh tokoh adat hanyalah retorika menyesatkan. Dalam hukum agraria, begitu HGB berakhir, hubungan hukum antara perusahaan dan tanah otomatis terputus. Tanah kembali berstatus tanah negara, bukan dikembalikan ke bekas pemegang HGB.

Yang lebih memprihatinkan, Kanwil ATR/BPN Bali juga dinilai mengabaikan fakta mediasi resmi yang sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Buleleng. Mediasi itu dihadiri Perkim, Kejari, Polres, dan Danramil Buleleng, yang semuanya secara tegas menyatakan posisi hukum 11 warga sebagai penggarap sah. Fakta krusial ini sama sekali tidak disinggung dalam rilis Kanwil.

“Kanwil mestinya berdiri di pihak rakyat kecil, bukan malah jadi tameng kepentingan korporasi. Jangan sampai lembaga negara justru mengkhianati warganya sendiri,” tandas Budiasa.

Kini, masyarakat Pancasari berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, turun tangan mengawal kasus ini agar tidak ada penyimpangan yang semakin merugikan warga.

Untuk diketahui, dalam siaran pers tertanggal 27 Agustus 2025, Kanwil BPN Bali menegaskan bahwa langkah mediasi yang dilakukan merupakan tindak lanjut dari permohonan resmi PT SBH. Dasar hukum mediasi ini merujuk pada Pasal 43 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

“Mediasi merupakan salah satu mekanisme penyelesaian kasus yang dimungkinkan oleh peraturan. Kantor Wilayah memiliki kewenangan untuk memfasilitasi para pihak berdasarkan permohonan resmi,” demikian isi rilis tersebut.

Lebih lanjut diterangkan, PT DBH sebagai pemegang HGB yang telah berakhir masa berlakunya pada tahun 2012 disebut memiliki prioritas untuk mengajukan kembali hak atas tanah, sesuai Pasal 107 ayat (2) Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021. Regulasi ini menyebut bahwa tanah negara bekas HGB dapat diberikan kembali kepada pemegang lama, dikelola oleh Badan Bank Tanah, atau digunakan untuk kepentingan umum.

Meski demikian, Kanwil BPN Bali juga menyoroti bahwa di atas tanah tersebut saat ini terdapat penguasaan oleh sekitar 21 kepala keluarga. Oleh karena itu, penyelesaian diharapkan memperhatikan keberadaan warga yang sudah lama menempati lahan, setuju apa tidak direlokasi.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *