News  

GTI Buleleng Tegaskan 11 Warga Pancasari Sah sebagai Penggarap Tanah Negara, PT SBH Tidak Punya Lagi Dasar Hukum Klaim

Buleleng, Balijani.id | Ketua Garda Tipikor Indonesia (GTI) Buleleng, Gede Budiasa, menegaskan bahwa status hukum lahan yang saat ini ditempati 11 warga di Dusun Buyan, Desa Pancasari, sudah jelas merupakan tanah negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa tanah negara berada di bawah kewenangan negara.

“Setiap orang memang berhak mengajukan permohonan atas tanah negara, namun harus melalui mekanisme hukum yang berlaku. Riwayat lama maupun klaim pihak yang tidak lagi menguasai lahan sudah tidak relevan secara hukum,” tegas Budiasa, Senin (25/8/2025).

Ia mengingatkan bahwa dalam rapat koordinasi yang digelar Dinas Perkim bersama BPN Buleleng, Kejari Buleleng, Polres Buleleng, dan Danramil Buleleng pada 6 Januari 2025, telah ditegaskan posisi 11 warga tersebut adalah sah dan kuat.

“Warga inilah yang nyata-nyata menempati dan menggarap tanah negara itu selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di lokasi, membangun rumah, berkebun, dan menjaga lahan,” ujarnya.

Hasil verifikasi menunjukkan 11 warga tersebut konsisten menguasai lahan, sementara pihak lain yang mengaku penggarap tidak memenuhi syarat.

“Ada yang baru tinggal sekitar 10 tahun atau kurang, ada juga yang meski sudah lama tetapi faktanya tidak menetap sepenuhnya di sana. Jadi tidak bisa disamakan dengan 11 warga inti,” tegas Budiasa.

Lebih lanjut, Budiasa menanggapi klaim PT Sarana Buana Handara (PT SBH) yang menyebut warga sebagai “penggarap PT SBH”. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan fakta hukum.

“Warga sejak lama menggarap tanah yang secara status hukum adalah tanah negara, bukan tanah milik PT SBH.

Budiasa juga menegaskan, tanah yang dimediasi di Pancasari adalah tanah negara bebas. Artinya, tidak ada satu pun hak yang melekat selain penguasaan penuh oleh negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA.

“Dengan demikian, gagasan untuk membagi tanah negara dengan PT SBH tidak lagi memiliki dasar hukum sama sekali. PT SBH bukan pemegang hak, bukan pula subjek hukum yang berwenang. Jika mediasi diarahkan ke pembagian dua pihak, itu sama saja menegasikan prinsip hukum agraria,” tegasnya.

Ia mendesak BPN Kanwil Provinsi Bali berdiri di atas hukum, bukan pada tekanan pihak mana pun.

“Jika tanah jelas status Tanah Negara dipaksa dibagi dengan pihak swasta, itu bisa diduga penyalahgunaan kewenangan. Negara wajib memberikan Hak atas Tanah Negara untuk rakyat, tanpa kompromi,” lagi

Untuk itu, GTI Buleleng meminta Dinas Perkim Kabupaten Buleleng, ATR/BPN Buleleng, Kejaksaan Negeri Buleleng, Polres Buleleng, Danramil Buleleng,

hingga Kanwil ATR/BPN Provinsi Bali benar-benar mempertimbangkan keinginan Masyarakat yang menguasai fisik bidang Tanah Negara tersebut dari

“11 warga ini menurut fakta, sejarah, dan hak atas tanah negara. agar mendapat Kepastian hukum agar tidak lagi ada pengaburan yang merugikan Masyarakat,” tutup Budiasa.

[ Reporter : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *