Buleleng, Balijani.id ~ Pembangunan pesat di Bali semakin memunculkan kekhawatiran akan hilangnya subak, sistem irigasi tradisional warisan leluhur yang menjadi salah satu identitas budaya Pulau Dewata. Praktisi hukum sekaligus pengamat pembangunan Bali, Gede Indrya, menegaskan pentingnya penguatan Peraturan Daerah (Perda) untuk menjaga keberlangsungan subak sekaligus mengendalikan pembangunan yang masif, saat diwawancarai media, Sabtu (19/7/2025)
Menurut Gede Indrya yang berprofesi sebagai advokat, Undang-Undang Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2023 yang diundangkan pada 4 Mei 2023 secara jelas memberikan legal standing bagi desa adat dan subak.
“Di pasal 6 Undang-Undang Provinsi Bali disebutkan bahwa wilayah Provinsi Bali terdiri dari desa adat dan subak. Artinya desa adat dan subak sudah diberikan label, sudah memiliki keberdirian yang dilindungi oleh undang-undang. Artinya tidak boleh punah, tidak boleh hilang,”
tegasnya.
Namun, Gede Indrya menyoroti bahwa subak kini menjadi perhatian serius karena keberadaannya semakin terancam. Ia bahkan menyebut bahwa keberadaan pura subak tanpa aktivitas pertanian adalah ironi.
“Sekarang ini ada pura subak, lalu subaknya mana? Kok puranya masih ada, berarti dulu ada subak kan? Tapi sekarang hilang,”
ungkapnya.
Gede Indrya menilai pemerintah provinsi perlu segera menerbitkan Perda yang secara spesifik mengatur perlindungan subak sesuai perintah Undang-Undang Provinsi Bali.
“Kalaupun sudah ada Perda Subak, harus terbit atas perintah undang-undang. Sehingga dia mempunyai legal standing yang jelas. Pemerintah bisa menentukan mana yang boleh membangun, mana yang tidak boleh,”
jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa masifnya pembangunan di Bali semakin mengancam keberadaan lahan pertanian.
“Bali sekarang dikepung investor. Memang rumah di Bali tidak setinggi pencakar langit, tapi sudah mendekati ketinggian pohon kelapa. Dulu Perda Bali mengatur bangunan tidak boleh setinggi pohon kelapa, artinya maksimal 15 meter,”
ujarnya.
Selain itu, perubahan kebijakan pertanahan membuat pengawasan semakin longgar.
“Sekarang tidak perlu lagi ada izin prinsip. Cukup dengan ITR (Informasi Tata Ruang). Kalau dulu harus ada rekomendasi pemerintah, sekarang tergantung BPN,”
kata Gede Indrya.
Gede juga menyinggung menurunnya minat generasi muda menjadi petani akibat hasil panen yang tak menjanjikan secara ekonomi.
“Sekarang di Bali mencari tukang panen juga susah. Kalau dulu ada sekehe manyi, sekarang sudah tidak ada karena hasilnya tidak memberi manfaat ekonomi yang besar,”
ujarnya.
Ia mendorong pemerintah memberikan perlindungan nyata bagi petani, salah satunya melalui keringanan pajak.
“Petani setahun belum tentu panennya berhasil. Mungkin salah satu perlindungan adalah meringankan pajaknya,”
usulnya.
Gede Indrya juga mengingatkan pentingnya penataan tata ruang agar jalur hijau dan kawasan konservasi tetap terjaga.
“Sekarang ada shortcut baru, rakyat sudah mendapat ganti rugi. Sudahkah dilakukan penataan supaya tidak gampang nanti bikin bangunan liar? Pemerintah harus memberi zonasi yang jelas,”
tegasnya.
Ia menekankan perlunya sinkronisasi aturan dari tingkat pusat hingga kabupaten.
“Perda kabupaten harus mengacu pada Perda provinsi, provinsi mengacu pada undang-undang. Jadi harus dimulai oleh provinsi. Tidak boleh dari kabupaten,”
ujarnya.
Gede Indrya mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan identitas budaya Bali.
“Masyarakat harus memahami bahwa Bali itu tidak boleh hilang desa adatnya dan subaknya. Jangan sampai hanya ada pura subak, tapi subaknya hilang,”
pungkasnya.
[ Reporter : Sarjana ]