Ketika Undang-Undang Lahir, Tapi Tali Pusatnya Tercekat

RKUHAP belum disahkan dan pengaruhnya terhadap implementasi KUHP 2026
Foto: Ketua IMO desak pengesahan RKUHAP (04/07)

RKUHAP belum disahkan

Jakarta, Balijani.id ~ Desakan agar Rancangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) segera dibahas dan disahkan terus menggema dari berbagai arah.

Hal ini terutama agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang telah ditetapkan segera dapat diimplementasikan.

Sayangnya, hingga saat ini kabar tentang pembahasan RKUHAP di lembaga DPR RI masih simpang siur sehingga berpotensi mengalami stagnasi berkepanjangan.

Diketahui, Indonesia akhirnya memiliki KUHP baru yang telah disahkan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023.

KUHP ini mulai berlaku efektif tiga tahun setelah diundangkan, yakni pada 2026. Namun, harapan terhadap kelahiran KUHP baru itu tidak akan lengkap tanpa ditopang oleh keberadaan perangkat hukum acara pidana yang selaras dan mendukungnya.

Di sinilah urgensi pembahasan dan pengesahan RKUHAP begitu mendesak.

Dua Sisi Mata Uang

Bagai dua sisi mata yang sama, hukum pidana materiil (KUHP) tanpa ditunjang hukum pidana formil (KUHAP) tidak akan berjalan sempurna.

Di satu sisi KUHP menetapkan apa yang merupakan tindak pidana dan ancamannya, sementara KUHAP mengatur bagaimana sistem peradilan pidana bekerja dalam menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan, mulai dari penyelidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi putusan.

Tanpa hukum acara pidana yang baru untuk mendukung semangat KUHP baru, pelaksanaan hukum pidana nasional akan menjadi pincang bahkan berpotensi terjadi kekacauan hukum.

Memang, sejauh ini Indonesia masih menggunakan KUHAP lama yaitu UU No. 8 Tahun 1981 meskipun KUHP baru sudah disahkan dua tahun lalu.

Terlebih, KUHP lama merupakan warisan masa lalu yang kental akan bayang-bayang kolonialisme.

Dengan hadirnya KUHP baru, merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam kemajuan sistem hukum nasional.

Sementara itu, kealpaan RKUHAP berdampak pada terciptanya gap struktural dalam konteks penegakan hukum pidana nasional.

Padahal, RKUHAP memuat sejumlah terobosan penting seperti penguatan hak tersangka dan terdakwa, prinsip restorative justice, dan penguatan peran hakim dalam mengontrol proses peradilan.

Semua itu butuh komitmen agar bisa ditindaklanjuti sebagai pendamping KUHP yang baru.

 

Bahaya Ketidakpastian Hukum

Keterlambatan pengesahan RKUHAP sangat berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum, serta berisiko terhadap tegaknya hukum dan keadilan.

Dengan belum disahkannya KUHAP baru ini maka potensi ditundanya implementasi KUHP baru pada awal 2026 juga sangat mungkin terjadi.

Sinkronisasi KUHP lama dan baru tidak mudah dan butuh waktu lama untuk pelatihan SDM aparat hukum.

Jika tidak dilakukan segera, akan terjadi kekosongan regulasi.

 

Tantangan SDM

Tanpa RKUHAP baru, aparat hukum tetap menggunakan pendekatan lama.

Contohnya, dalam KUHP baru dikenalkan pidana kerja sosial dan pengawasan, namun belum ada ketentuan tata cara pelaksanaannya.

KUHP baru bukan hanya legislasi formal, tapi juga simbol dekolonisasi hukum nasional.

Sayangnya, ini semua akan sia-sia apabila KUHAP baru belum bisa diterbitkan sebagai petunjuk pelaksanaan atas KUHP baru tersebut.

Masyarakat perlu mendorong DPR RI untuk segera mengesahkan RKUHAP demi kepastian hukum yang adil dan menyeluruh.

Oleh: Yakub F. Ismail

Baca juga: Kemenkumham RI | DPR RI

 

RKUHAP belum disahkan, pengesahan RKUHAP 2025, keterlambatan RKUHAP, KUHP baru Indonesia, UU No.1 Tahun 2023, hukum pidana nasional, hukum acara pidana Indonesia, sinkronisasi KUHP-KUHAP, restorative justice, sistem pidana nasional
Kdesak pengesahan RKUHAP demi dukung KUHP baru | selengkapnya di balijani.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *