Jakarta, Balijani.id ~ Pemerintah berupaya menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui program rumah subsidi, dengan standar luas tanah 25 hingga 200 meter persegi dan luas bangunan 18 hingga 36 meter persegi. Niatnya untuk mengurangi backlog perumahan sebesar 12,75 juta unit (Susenas 2020). Aturan minimum 18 m² untuk bangunan, seperti diatur dalam Kepmen PUPR No. 689/2023, mencerminkan asumsi bahwa rumah lebih kecil tidak cukup baik untuk MBR. Regulasi ukuran minimum ini justru menaikkan biaya, membatasi pasokan, dan membuat rumah subsidi sulit dijangkau oleh MBR dengan pendapatan Rp2,5–4 juta per bulan. Solusi yang lebih rasional adalah mengurangi ukuran rumah subsidi ke 10 m².
Simulasi perhitungan, dengan biaya konstruksi Rp4,22 juta per m² dan harga tanah Rp4 juta per m² di pinggiran seperti Tangerang, rumah Tipe 18 (18 m², tanah 25 m²) membutuhkan biaya produksi Rp184,41 juta (konstruksi Rp75,96 juta, tanah Rp100 juta, izin Rp8,45 juta). Dengan KPR FLPP (bunga 5%), SBUM Rp4 juta, dan pembebasan PPN 11% (Rp20,29 juta), harga jual jadi Rp160,12 juta, dengan cicilan Rp952 ribu per bulan. Biaya cicilan ini sekitar 23,8% dari MBR yang bergaji Rp4 juta, dan 38,1% dari MBR yang bergaji Rp2,5 juta, ini masih terlalu berat.
Sedangkan rumah mikro 10 m² (tanah 20 m²) membutuhkan biaya produksi Rp128,07 juta (konstruksi Rp42,2 juta, tanah Rp80 juta, izin Rp5,87 juta). Dengan subsidi sama, harga jual menjadi Rp109,98 juta dengan cicilan Rp 654 ribu per bulan, ini sekitar 16,4% dari yang bergaji Rp4 juta dan 26,2% dari yang bergaji Rp2,5 juta.
Rumah dengan ukuran 10 m² ini tidak hanya lebih terjangkau, tetapi juga memungkinkan dibangun 500 unit per hektar (3x lebih efisien dibandingkan dengan tipe 36), dibandingkan 400 unit untuk Tipe 18 atau hanya 166 unit untuk Tipe 36.
Menghapus batasan ukuran minimum 18 m² akan memungkinkan rumah ukuran 10–15 m² menjamur, menurunkan harga tanpa membebani APBN sebesar Rp 35,2 triliun (FLPP 2025).
Dengan pendapatan MBR Rp2,5–4 juta, cicilan ideal tidak lebih dari 30% gaji (Rp750 ribu untuk Rp2,5 juta). Rumah tipe 36 m² (cicilan Rp1,13 juta) jelas tidak terjangkau, tipe 18 m² (Rp952 ribu) masih berat, tapi rumah dengan tipe 10 m² (Rp654 ribu) jauh lebih realistis. Skeptisisme terhadap rumah ukuran kecil sering berakar pada idealisme birokratis bahwa “kecil” berarti “tidak layak.” Namun, fakta berbicara lain.
Di permukiman informal, banyak keluarga yang tinggal di rumah swadaya <10 m² dengan kualitas buruk, namun tetap bertahan.
Jika MBR di berbagai lokasi bersedia tinggal di rumah swadaya dengan kualitas buruk, mengapa pemerintah tidak mengajak swasta untuk menyediakan rumah 10 m² dengan standar lebih baik? Rumah dengan ukuran yang sama bila didesain dengan cerdas—furnitur lipat, mezzanine, ventilasi alami, dan fasilitas komunal—bisa lebih nyaman dengan harga jauh lebih rendah. Rumah ukuran 10 m² memang terbatas untuk keluarga besar, tetapi cocok untuk individu, pasangan muda, atau keluarga kecil—yang mungkin merupakan segmen besar MBR.
Aturan ukuran minimum 18 m² memaksa pengembang membuang lahan untuk ruang yang tidak selalu dibutuhkan MBR. Regulasi ini tidak hanya membatasi pasokan, tetapi juga meningkatkan biaya infrastruktur, seperti sambungan listrik air dan sanitasi, yang seharusnya bisa dioptimalkan dengan kepadatan lebih tinggi.
Biaya per rumah akan jauh lebih rendah bukan hanya karena biaya tanah yang berkurang untuk setiap rumah tetapi juga karena skala ekonomi.
Ketika pengembang membangun beberapa rumah sekaligus mereka memanfaatkan diskon volume dan tim pekerja yang konsisten berada di lokasi hingga pekerjaan selesai. Pemerintah Indonesia harus menghapus batasan ukuran ini dan membiarkan MBR memilih rumah yang sesuai dengan kebutuhan dan dompet mereka.
Memperkecil rumah subsidi menjadi 10 m² bukan solusi yang tidak ada cacatnya, tapi jauh lebih masuk akal dibandingkan yang ada saat ini, agar cepat ada solusi memberikan keterjangkauan rumah bagi MBR.
Editor: Sarjana
balijani.id