Buleleng, Balijani.id ~ Saat Presiden Prabowo Subianto gencar menyuarakan perlindungan terhadap rakyat kecil dan pemberantasan mafia tanah, justru muncul dugaan manuver ganjil di tingkat daerah yang mencederai semangat reforma agraria.
Di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Bali diduga memberi ruang kepada PT Sarana Bali Handara (SBH) untuk merebut kembali lahan yang sudah kembali menjadi tanah negara setelah izin hak guna bangunan (HGB) mereka habis lebih dari sepuluh tahun lalu.
Perusahaan ini kini mengklaim lahan tersebut atas dasar perjanjian dengan seorang yang disebut sebagai penggarap. Namun pengakuan itu justru membuka kejanggalan lantaran dibuat setahun lalu, jauh hari setelah HGB mati. Menariknya lagi sebagian besar warga yang menempati lahan itu menolak disebut sebagai penggarap.
Hal ini pun mematik tanya, mengapa BPN mau menanggapi sesuatu yang secara materiil cacat, secara hukum sudah gugur, dan secara sosial ditolak oleh masyarakat?
“Kalau model begini dianggap sah, ini sangat berbahaya. Siapa pun nanti bisa datang, bikin surat sepihak, lalu klaim tanah negara,” kata Jro Komang Sutrisna, kuasa hukum warga yang selama ini mengelola lahan secara aktif untuk kepentingan masyarakat di lokasi Buyan, Desa Pancasari, Selasa (17/05/2025).
Jro Komang Sutrisna, S.H menegaskan bahwa secara hukum, HGB yang mati dan tidak diperpanjang otomatis membuat tanah kembali menjadi milik negara. Semua hak turunan dari HGB, termasuk penggarap, gugur demi hukum. Maka, munculnya penggarap baru setelah lebih dari satu dekade HGB berakhir, patut disinyalir sebagai rekayasa.
“Ini saya analisis ya, seperti ada skema baru yang dilakukan oleh pihak PT SBH untuk tetap meneruskan permohonannya. Surat pernyataan penggarap yang baru-baru ini diajukan sebagian sudah dicabut warga,” jelas Jro Komang Sutrisna.
Hal yang lebih membingungkan lagi, pihak BPN Bali ketika diminta menjelaskan status hukum tanah tersebut, tak menjawab lugas. Mereka justru menyebutnya sebagai tanah negara bekas HGB PT SBH. Sebuah istilah abu-abu yang menyiratkan celah bagi perusahaan untuk kembali masuk, padahal secara hukum, tak ada lagi hak yang melekat.
“Begini Ketentuan di PP 18 ini bahasanya tanah negara itu adalah salah satunya tanah hak yang berakhir jangka waktunya. Itu HGB kan ada jangka waktu, jadi ketika dia berakhir jangka waktunya jadi tanah negara. Dan itu bekas hak karena dulu adalah HGB,” terang Hardiansyah SH MH sebagai Kabid Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali.
Hardiansyah mengaku berupaya menyeimbangkan kepentingan PT SBH dan warga. Ia menyebut kehadirannya di lokasi bertujuan untuk melihat langsung kondisi di lapangan, supaya kepentingan warga tetap terakomodasi tanpa mengabaikan hak PT SBH.
“Jangan serta merta mengakomodir warga saja, harus melihat PT SBH juga. Karena SBH informasi dari Pak Perbekel mereka dulu membeli. Sehingga prosesnya harus dipikirkan dengan baik. PT SBH juga jangan terlalu ngotot karena ini kepentingan warga juga,” bebernya.
Lebih mengherankan, meski PT SBH tidak pernah memanfaatkan hak diberikan sebelumnya hingga lahan kembali jadi tanah negara namun BPN menyebut PT SBH masih memiliki hak prioritas untuk memohon.
“Itu PT SBH punya hak prioritas untuk memohon,” singgung pegawai BPN Buleleng yang juga hadir dalam pengecekan fisik.
Untuk diketahui, berdasarkan informasi dari salah satu yang disebut sebagai penggarap dihadirkan PT SBH, yaitu Jro Mangku Sumarna, secara polos mengatakan perjanjian penggarap baru dibuat sekitar setahun lalu.
“SK Penggarap tidak ada. Tapi perjanjian sebagai penggarap ada. Awalnya kita itu dikasih untuk menggarap dan hasilnya. Perjanjian baru dibuat sekitar 1 tahun yang lalu,” jelasnya singkat.
Langkah PT SBH yang mencoba merebut kembali tanah negara melalui skema penggarap ini menimbulkan kecurigaan publik akan adanya permainan sistematis antara korporasi dan oknum pejabat.
“Pak Prabowo harus tahu. Di bawah ada gerakan melawan semangat reformasi agraria yang beliau gaungkan. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk,” tegas warga lainnya yang tidak ingin namanya disebut.
Belasan warga miskin yang tinggal di lahan itu, kini mendesak agar pusat turun tangan. Mereka tak ingin tanah negara kembali dikuasai segelintir elite dengan mengatasnamakan aturan, sementara masyarakat yang sudah menjaga dan mengelola lahan itu justru disingkirkan.