Denpasar, Balijani.id ~ Gubernur Bali Wayan Koster kembali menggulirkan terobosan baru di bidang kesehatan. Kali ini, ia mencetuskan program bertajuk “Gerbang Sehat Desa Bali” yang akan diwujudkan melalui konsep “Satu Desa Satu Klinik”. Tujuannya jelas: memastikan layanan kesehatan menjangkau seluruh desa hingga pelosok Bali, tanpa harus selalu mengandalkan Puskesmas atau rumah sakit kabupaten.
Dalam rapat koordinasi lintas instansi di Gedung Kerthasabha, Jayasabha, Denpasar, Kamis (12/6), Koster menegaskan bahwa program ini akan menjadi layanan primer yang langsung bisa diakses warga, bahkan menjadi titik awal rujukan dalam sistem BPJS. “Sudah sejak awal kita canangkan gagasan ini. Tujuannya agar masyarakat di tingkat desa dan kelurahan bisa mengakses layanan kesehatan yang terjangkau, merata, dan berkualitas,” ujar Koster. Tak hanya menyediakan layanan medis konvensional, klinik ini juga akan mengakomodasi pengobatan tradisional berbasis kearifan lokal Bali.
Program ini dirancang dengan pendekatan berbasis kebutuhan nyata. Wilayah-wilayah yang sudah memiliki fasilitas lengkap seperti Denpasar dan Badung tidak menjadi prioritas utama. Fokus diarahkan ke desa-desa yang selama ini masih kesulitan mengakses layanan dasar, terutama di Karangasem, Bangli, Jembrana, Buleleng, dan wilayah pegunungan. “Kalau di satu desa sudah ada klinik yang berfungsi baik, maka tidak perlu lagi ada Putus atau layanan ganda lainnya. Layanan sudah cukup ter-cover,” tambahnya.
Yang menarik, program ini tidak akan membebani anggaran daerah. Menurut Koster, selama klinik dibangun sesuai regulasi Kementerian Kesehatan, biaya operasionalnya dapat ditanggung sepenuhnya melalui dana kapitasi dari BPJS Kesehatan. “Kalau Klinik Desa dibangun sesuai Permenkes, maka tidak diperlukan dana APBD tambahan. Dana kapitasi dari BPJS bisa menutupi seluruh biaya operasional,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya memotong rantai birokrasi rujukan. Klinik desa nantinya bisa langsung merujuk pasien ke tingkat lanjutan tanpa harus melewati Puskesmas terlebih dulu. “Klinik Desa seharusnya bisa jadi titik awal layanan primer. Ini akan mempercepat pelayanan bagi masyarakat,” tegas Koster.
Melalui “Gerbang Sehat Desa Bali”, Koster ingin menghadirkan paradigma baru pelayanan kesehatan berbasis komunitas, yang lebih efisien, langsung menyentuh masyarakat, dan terintegrasi dengan sistem pembiayaan nasional. Ia bahkan mengingatkan bahwa kreativitas fiskal lebih penting dari sekadar besarnya anggaran. “Dulu uang sedikit, hasil besar. Sekarang uang banyak, belum tentu hasilnya maksimal,” katanya kritis.
Program ini saat ini memasuki tahap penyusunan regulasi, pemetaan desa prioritas, dan simulasi pembiayaan. Koster meminta seluruh perencanaan disusun secara runut, realistis, dan fokus pada manfaat konkret di lapangan. “Kita tidak butuh basa-basi. Yang penting kerja nyata, tepat sasaran, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat desa,” tutupnya.
Jika berhasil diterapkan secara menyeluruh, program ini berpotensi menjadi tonggak baru dalam sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia dimulai dari desa, dibangun oleh desa, dan untuk kesejahteraan desa. Sebuah model layanan kesehatan yang bukan hanya adil dan murah, tapi juga membumi dan berbasis budaya lokal.
Editor: Sarjana