Denpasar, Balijani.id ~ Setelah sempat tertahan oleh pandemi COVID-19 di periode pertama kepemimpinannya, Gubernur Bali Wayan Koster kini kembali tancap gas. Tak ingin momentum perubahan lingkungan hilang begitu saja, ia meluncurkan langkah tegas yang langsung mengguncang: tas kresek, pipet plastik, dan styrofoam dilarang masuk Pulau Dewata!
Kebijakan ini bukan sekadar kelanjutan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang pembatasan plastik sekali pakai. Kali ini, pendekatannya jauh lebih keras, sistematis, dan tanpa kompromi. Tak ada lagi ruang untuk “imbauan manis”—yang ada hanyalah perintah tegas dan larangan mutlak.
Langkah awal dilakukan dengan menggiring seluruh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) se-Bali ke Gedung Kerta Sabha, Denpasar, pada Kamis (29/5). Di hadapan mereka, Koster mengeluarkan ultimatum keras: produksi dan penjualan AMDK plastik di bawah satu liter wajib dihentikan paling lambat Desember 2025.
“Tidak ada lagi toleransi untuk plastik sekali pakai yang mencemari tanah, air, dan laut Bali. Kita harus bergerak ke arah yang lebih bersih dan bermartabat,” ujar Koster dengan nada tinggi.
Tak berhenti di situ, Koster kini menyasar jenis plastik sekali pakai lainnya. Ia memerintahkan jajarannya untuk mengidentifikasi distributor tas kresek, pipet plastik, dan styrofoam, lalu memanggil mereka untuk dialog tertutup. Misi utamanya jelas: menutup rapat jalur distribusi plastik sekali pakai ke Bali.
“Ini bukan semata soal sampah, tapi soal martabat Bali diakui dunia sebagai destinasi pariwisata. Jangan biarkan Bali dijadikan pulau plastik oleh kepentingan ekonomi jangka pendek,” tegasnya lagi.
Meski langkah ini diperkirakan akan memicu resistensi dari pelaku usaha dan distributor besar, Koster memilih untuk melawan demi masa depan Bali. Ia menegaskan, keputusan ini bukan untuk popularitas, melainkan demi menyelamatkan ekosistem yang makin rapuh.
“Lebih baik menghadapi tekanan hari ini, daripada mewariskan bencana ekologis bagi anak cucu kita,” tandasnya.
Langkah berani ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Agung Wirapramana alias Gung Pram, pengamat sosial budaya dan lingkungan. Ia menyebut ini sebagai bentuk kepemimpinan yang layak dicontoh.
“Ini bentuk kepemimpinan yang berani. Bukan basa-basi politik, tapi langkah nyata untuk menyelamatkan Bali dari krisis ekologis,” ujarnya.
[ Reporter : Sarjana ]