Bukan Tender Nasi Bungkus!” Aktivis Bongkar Dugaan Permainan Demer di Proyek APD Triliunan

Gde Sumarjaya Linggih alias Demer dalam video klarifikasi terkait kasus korupsi APD
Foto: Politisi Golkar Gde Sumarjaya Linggih alias Demer saat memberikan klarifikasi di media sosial mengenai dugaan keterlibatannya dalam kasus pengadaan APD Rp3,03 triliun.(30/05)

Denpasar, Bali, Balijani.id ~ Klarifikasi politisi Golkar, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, soal dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) senilai Rp3,03 triliun terus menuai kritik keras dari berbagai pihak. Tak hanya dari publik, seorang aktivis antikorupsi, Gede Angastia alias Anggas, yang pernah tinggal di Negeri Paman Sam (Miami, Florida, USA) juga ikut angkat bicara. Ia menilai pernyataan Demer justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

“Saya betul jadi komisaris, tapi hanya tiga bulan. PT EKI dibuat untuk produksi pipa, tapi pengurusnya kerja sama dengan PT lain untuk ikut tender APD. Saya sama sekali tidak tahu, tidak pernah ikut RUPS, tidak tandatangan cek, dan tidak tahu aliran dana,” ujar Demer dalam klarifikasi tersebut.

Namun, pernyataan itu justru dibantah oleh Anggas yang sejak awal menjadi pelapor kasus korupsi APD Demer ini ke KPK, Kejaksaan Agung, hingga BPK.

“Kalau memang tidak tahu, lalu kenapa bisa ada di struktur komisaris resmi di akta perusahaan? Dan anehnya lagi, hanya delapan hari setelah nama beliau tercantum, perusahaan itu dapat penunjukan langsung proyek APD dari Kemenkes,”

tegas Anggas saat diwawancarai Balijani.id, Jumat (30/5).

Menurut dokumen resmi Kemenkumham, Demer tercatat sebagai Komisaris PT EKI per 20 Maret 2020. Hanya delapan hari kemudian, PT EKI yang tidak memiliki izin IPAK, bukan PKP, dan belum pernah mengerjakan pengadaan APD sebelumnya, mendapat penunjukan langsung proyek APD dari Kementerian Kesehatan. Tak lama setelah itu, posisi komisaris yang ditinggalkan Demer digantikan oleh anaknya, Agung Bagus Pratiksa Linggih, yang kini menjabat Ketua Komisi II DPRD Bali.

“Yang jelas, kalau memang tidak terlibat, kenapa posisinya digantikan oleh anaknya? Ada pola struktural yang berulang di kasus-kasus seperti ini,”

ungkap Anggas.

Meskipun Demer mengklaim tidak relevan untuk dipanggil sebagai saksi oleh KPK, Anggas meminta lembaga antirasuah itu tidak sekadar terpaku pada formalitas administratif.

“Jangan sampai KPK terjebak pada kesimpulan cepat tanpa menyisir jaringan struktural yang lebih luas,”

seru Anggas.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa narasi Demer yang menyebut isu ini selalu muncul jelang pemilu justru alasan mengapa rakyat harus waspada.

“Justru karena selalu muncul menjelang pemilu, maka penting untuk dibersihkan. Rakyat tidak boleh memilih calon dengan rekam jejak buram, apalagi dalam proyek penyelamatan nyawa manusia,”

tegasnya.

Anggas menekankan bahwa pengadaan APD senilai triliunan rupiah di masa pandemi bukan proyek sembarangan.

“Ini bukan tender nasi bungkus. Ini triliunan rupiah, dana negara, proyek strategis di masa krisis. Publik wajar curiga jika semua serba kebetulan,”

ketus Anggas dengan nada tinggi.

Dalam wawancara lanjutan, Anggas juga menyoroti dugaan rangkap jabatan Demer yang saat itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, sekaligus menjabat sebagai komisaris di PT EKI.

“Itu melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 236. Pejabat DPR tidak boleh merangkap jabatan di BUMN atau badan usaha yang dananya dari APBN. Apalagi ini bukan asumsi, tapi tercatat resmi dalam akta perusahaan,”

jelasnya.

“Anggas juga melaporkan langsung ke MKD RI dan menurut informasi Kesekjenan DPR RI akan segera menindaklanjuti laporan langsung dari laporan kami sebagai pelapor,”

ucap Anggas.

Anggas menyebut, fakta bahwa PT EKI langsung mendapat proyek dari Kemenkes hanya delapan hari setelah Demer menjabat sebagai komisaris, mengindikasikan adanya intervensi politik.

“Ini sudah by design. Masuk sebagai komisaris, lalu delapan hari kemudian langsung dapat proyek besar? Ini bukan kebetulan. Dan setelah itu, jabatan komisaris langsung diganti anaknya. Ada skenario cuci tangan di sini,”

tuding Anggas.

Ia juga mengungkapkan bahwa PT EKI belum memiliki izin dan tidak memiliki standar kelayakan dalam pengadaan APD, sebagaimana juga tercatat dalam temuan BPK.

“Ini ilegal. Bukan hanya soal pelanggaran administratif, tapi ada kerugian negara lebih dari Rp300 miliar dan nyawa rakyat dipertaruhkan.”

Menutup wawancaranya, Anggas menyerukan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR RI, dan seluruh aparat penegak hukum untuk berani menuntaskan kasus ini tanpa pandang bulu.

“Kalau memang bersih, ya tunjukkan lewat pembuktian, bukan hanya klarifikasi. Ini soal akuntabilitas. Bukan soal suka atau tidak suka,”

ujar Anggas.

Ia mengingatkan bahwa kejahatan di masa pandemi adalah kejahatan luar biasa dan tidak bisa dimaafkan hanya dengan alasan “tidak tahu.”

“Harapan saya, KPK dan Kejagung buka benang merah kasus ini sampai terang-benderang. Ini bukan persoalan sepele. Ini soal uang rakyat dan nyawa manusia,”

pungkasnya.


[ Reporter : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *