Denpasar, Balijani.id ~ Upaya PT Sarana Buana Handara (PT SBH) untuk merebut kembali lahan negara di kawasan Buyan, Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, kini berubah bentuk menjadi siasat licik yang mencederai akal sehat dan keadilan.
Setelah gagal menakut-nakuti warga dengan plang sepihak yang dibatalkan oleh Satpol PP atas perintah Pemkab Buleleng, PT SBH kini mencoba bermain lewat manipulasi data dan memanfaatkan warga yang tak paham hukum di tingkat provinsi.
Jro Komang Sutrisna, SH, kuasa hukum 11 warga yang tinggal dan sebagai pengelola lahan tanah negara menyampaikan, PT SBH datang ke Kanwil BPN Provinsi Bali dengan membawa daftar 14 nama yang disebut sebagai “penggarap” untuk mendapatkan rekomendasi mediasi tandingan. Padahal, sebagian besar nama tersebut tidak pernah muncul dalam proses mediasi sebelumnya di Dinas Perkimta Buleleng pada 6 Januari 2025.
Menariknya lanjut Jro Sutrisna, dari 11 warga yang secara sah terverifikasi ditetapkan tinggal dan menguasai lahan itu lebih dari 20 tahun oleh pihak kabupaten Buleleng, 6 warga namanya dicatut dijadikan sebagai penggarap PT SBH. Ini bukan hanya kebohongan publik, tapi juga pemalsuan legitimasi demi satu tujuan yaitu menguasai kembali tanah negara dengan cara menyelundupkan klaim fiktif.
“Mereka sadar lahan itu secara hukum sudah kembali jadi tanah negara sejak HGB No. 044 mereka habis pada 2012. Tapi bukannya menyerah, mereka malah memperalat rakyat kecil untuk mengajukan permohonan seolah-olah itu hak mereka. Ini modus kelas berat,” tegas Jro Komang Sutrisna, S.H., kuasa hukum 11 warga pengelola lahan, Kamis (22/5/2025).
Modus ini semakin kotor karena di balik manuver tersebut, dikabarkan ada keterlibatan oknum tokoh desa yang diduga kuat mengkondisikan warga tertentu agar mau menjadi tameng perusahaan.
Menurut Jro Sutrisna, kliennya bahkan mengaku sempat disodori formulir kosong ketika plang klaim sepihak dipasang di lahan tanah negara, yang belakangan diketahui berisi pernyataan bahwa mereka meminjam lahan milik PT SBH dan harus menyerahkannya kembali tanpa kompensasi. Setelah sadar dijebak, mereka buru-buru menarik pernyataan itu dan membatalkan tanda tangan.
Sutrisna menegaskan, para kliennya sudah mengelola lahan itu sejak 1970-an berdasarkan izin lisan dari Perbekel Wayan Widia. Tidak pernah ada kontrak kerja dengan PT SBH, tidak pernah ada kewajiban setor hasil, dan tidak pernah ada pengakuan bahwa perusahaan tersebut memiliki lahan itu. Bahkan selama masa HGB aktif pun, lahan itu tetap kosong, ditelantarkan tanpa kontribusi apa pun kepada masyarakat.
“Mereka ini bukan investor. Mereka ini penelantar tanah. Dan sekarang setelah tanah kembali ke negara dan dimanfaatkan warga miskin secara produktif, mereka datang-datang pakai dalih ‘penggarap’ bayangan. Ini bukan hanya penghinaan terhadap hukum, tapi juga terhadap nurani publik,” tegasnya.
Ironisnya, PT SBH bahkan mengabaikan hasil rapat resmi di Dinas Perkimta Buleleng pada 6 Januari 2025, yang secara jelas menyatakan bahwa pemasangan plang sebelumnya adalah pelanggaran etika. Bukannya introspeksi, mereka justru mengganti strategi, memunculkan nama-nama baru yang tidak pernah hadir dalam proses mediasi, lalu mendesak BPN untuk memproses permohonan atas tanah negara.
“Lima warga bahkan sudah disomasi dan diancam diusir. Ini bukan sekadar kesewenang-wenangan, tapi bentuk penggusuran halus terhadap masyarakat kecil yang sudah puluhan tahun menjaga dan menghidupi keluarganya dari tanah ini,” tambah Sutrisna.
Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil BPN Bali, Hardiansyah, S.H., M.H., mengakui bahwa pihaknya masih melakukan verifikasi lapangan dan bersikap sangat berhati-hati. Ia menegaskan bahwa tanah negara yang tidak dimanfaatkan sesuai fungsi bisa masuk dalam kategori tanah terlantar dan tidak serta merta bisa diklaim ulang secara sepihak.
“HGB yang tidak dimanfaatkan tidak otomatis menjadi hak lama. Apalagi kalau tanah itu sudah jelas dikelola warga secara fisik, tanpa pembangunan, selama bertahun-tahun. Klaim sepihak tidak bisa diterima mentah-mentah,” ujar Hardiansyah.
Kini bola panas ada di tangan Kanwil BPN Bali. Masyarakat menanti, apakah BPN akan berdiri di sisi masyarakat kecil yang selama ini menjaga, mengelola, dan hidup dari tanah negara itu?
Atau akan membiarkan korporasi gagal seperti PT SBH kembali bermain licik, memanipulasi dokumen, dan memperalat warga demi menguasai tanah yang telah lama mereka abaikan? Karena jika negara tunduk pada modus semacam ini, maka siapa saja kelak bisa mencatut nama warga dan mengklaim tanah negara sesuka hati.
[ Reporter : Sarjana ]