Ojek Online dan Komisi 10%

Pengemudi ojek online melakukan aksi protes di Jakarta menuntut pengurangan komisi
Foto: Pengemudi ojek online melakukan aksi damai di Jakarta, menuntut penurunan komisi dari 20% menjadi 10%, Senin (20/5/2025)

Dr. Hendrawan Saragi
Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah

Jakarta, Balijani.id ~ Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk menyediakan sistem transportasi umum yang terintegrasi, nyaman, aman, dan mampu mengurangi kemacetan serta polusi. Namun, keterbatasan pemerintah dalam memenuhi amanat ini telah mendorong sektor swasta, khususnya platform angkutan online seperti ojek online, untuk mengisi kekosongan tersebut. Platform ini menawarkan efisiensi, fleksibilitas, dan kenyamanan yang sering kali melampaui angkutan umum, meskipun dengan tarif lebih tinggi. Ojek online memberdayakan individu untuk memilih waktu dan rute perjalanan mereka, dan ini dihargai oleh masyarakat.

Dari sisi tarif, layanan ojek online lebih mahal daripada angkutan umum. Tarif ojek online bervariasi berdasarkan permintaan (surge pricing), jarak, dan waktu. Tarifnya untuk perjalanan pendek (5 km) biasanya Rp15.000–Rp30.000, lebih mahal daripada angkutan umum tetapi menawarkan kenyamanan pengantaran door to door. Tarif bus TransJakarta, misalnya, sekitar Rp3.500 per perjalanan, dan MRT/LRT sekitar Rp10.000–Rp15.000 untuk jarak menengah. Banyak sistem angkutan umum disubsidi untuk menjaga tarif tetap rendah, ini menunjukkan ketergantungan pada subsidi untuk pembangunan dan operasional. Menurut Renstra Kementerian Perhubungan 2020–2024, pendanaan pemerintah untuk bus atau kereta sebesar Rp711 triliun. Untuk Jakarta, di tahun 2025 subsidi untuk TransJakarta ada sebesar Rp4,2 triliun. Namun, layanan sering kali kurang nyaman karena jadwal tetap, rutenya terbatas dan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen secara real-time.

Layanan ojek online karena bergantung pada kendaraan individu dapat memperburuk kemacetan di daerah padat. Sementara itu, angkutan umum dapat berperan dalam mengurangi kemacetan lalu lintas karena mengangkut lebih banyak penumpang per kendaraan dibandingkan ojek online.

Struktur biaya ojek online terdiri dari biaya komisi di mana aplikator angkutan online mengambil 20% dari tarif perjalanan untuk mendanai platform, teknologi seperti aplikasi, GPS, algoritma perutean, pemasaran, dan dukungan pelanggan. Jika tarif perjalanan Rp20.000, pengemudi menerima Rp16.000, dan aplikator mendapat Rp4.000. Pengemudi menanggung biaya operasional seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, asuransi, dan pajak.

Komisi 20% merupakan bagian dari kesepakatan kontraktual antara aplikator dan pengemudi. Pengemudi secara sukarela bergabung dengan platform, mengetahui struktur biaya ini. Komisi ini membiayai operasional platform, seperti pengembangan aplikasi, pemasaran, dan dukungan pelanggan. Platform juga menawarkan asuransi atau tunjangan sebagai bagian dari persaingan pasar untuk menarik pengemudi.

Komisi ini memungkinkan platform berinvestasi dalam teknologi (misalnya, algoritma perutean, pelacakan GPS, dan keamanan), yang meningkatkan efisiensi layanan. Ini menguntungkan konsumen melalui layanan yang lebih cepat, lebih andal, dan lebih nyaman dibandingkan angkutan biasa. Komisi ini juga mendanai ekspansi platform ke wilayah terpencil, memperluas akses tanpa bergantung pada subsidi pemerintah.

Komisi memungkinkan platform menawarkan pekerjaan fleksibel kepada pengemudi, mendukung kewirausahaan dan mobilitas ekonomi. Pengemudi memilih model kontraktor independen untuk fleksibilitas. Status pegawai tetap dengan jam kerja terbatas dapat mengurangi keunggulan utama model ini.

Selama aksi protes di Jakarta pada 20 Mei 2025, pengemudi ojek online menuntut pengurangan komisi dari 20% menjadi 10% serta kenaikan tarif. Kedua tuntutan ini saling terkait karena pendanaan angkutan online bergantung pada tarif konsumen. Tarif yang lebih tinggi dapat mengurangi daya beli konsumen dan menurunkan permintaan.

Penurunan komisi ke 10% akan memangkas pendapatan platform hingga setengahnya. Jika volume perjalanan tidak meningkat signifikan, platform berisiko mengalami kerugian, yang dapat menyebabkan pengurangan layanan atau bahkan penutupan. Alternatif lain adalah menaikkan tarif, tetapi ini membebani konsumen. Dalam pasar dengan persaingan rendah, platform bisa mempertahankan komisi tinggi sambil menaikkan tarif, yang merugikan kesejahteraan konsumen.

Solusi:
Dominasi beberapa platform besar dapat menjadikan komisi 20% sebagai standar industri. Tanpa persaingan yang kuat, platform bisa bertindak seperti monopoli. Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu menerapkan deregulasi agar platform baru lebih mudah masuk, menciptakan tekanan kompetitif, dan mendorong insentif yang lebih adil. Persaingan memastikan efisiensi finansial dan keberlanjutan bisnis berbasis pasar tanpa bergantung pada subsidi transportasi.


Editor: Sarjana

ojek online indonesia, komisi gojek grab, protes pengemudi 2025, transportasi digital, tarif ojek online terbaru, angkutan umum vs ojek online, kebijakan transportasi digital indonesia, deregulasi transportasi, persaingan usaha aplikator, sistem transportasi nasional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *