Jakarta, Balijani.id ~ Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan tanggapan kritis terhadap sejumlah ketentuan dalam regulasi tersebut. Menurut KPK, beberapa pasal dinilai berpotensi melemahkan transparansi dan memperbesar risiko penyalahgunaan kewenangan.
“Keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara,” ungkap Wakil Ketua KPK dalam keterangannya.
Ia menambahkan bahwa dalam konteks penegakan hukum pidana korupsi, KPK tetap berpedoman pada UU tersebut.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 telah dirumuskan bahwa
“status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.”
KPK juga mengingatkan bahwa meskipun dana BUMN dianggap sebagai keuangan negara yang dipisahkan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, dana tersebut tetap merupakan bagian dari keuangan negara.
“Dengan demikian, kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara,” tegasnya.
Dalam konteks pidana, KPK menyatakan bahwa tanggung jawab dapat dibebankan kepada jajaran Direksi, Komisaris, hingga Pengawas BUMN.
“KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direksi, Komisaris, maupun Pengawas BUMN,” ujarnya, mengutip Pasal 11 Ayat 1 Huruf A dan B UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019.
KPK mengapresiasi langkah reformasi yang ingin dicapai melalui UU ini, namun juga mengingatkan pentingnya akuntabilitas dalam implementasinya.
“UU ini jangan sampai menjadi celah praktik korupsi,” tegasnya.
Pemerintah dan DPR diharapkan terbuka terhadap evaluasi lanjutan untuk memastikan integritas pengelolaan keuangan negara tetap terjaga.
[ Sumber : KPK RI ]
[ Editor : Ida Bagus Wisnu Suputra]