Oleh : Dr Hendrawan Saragi
Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah
Jakarta, Balijani.id ~ Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan adanya ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa dari total 170 juta hektar luas daratan Indonesia, sekitar 70 juta hektar merupakan kawasan non-hutan. Dari jumlah tersebut, hampir 46 persen atau sekitar 30 juta hektar dikuasai oleh 60 keluarga besar yang memiliki perusahaan. Ia juga menyebutkan bahwa satu keluarga menguasai lahan seluas 1,8 juta hektar di Indonesia.
Fakta konsentrasi kepemilikan lahan oleh segelintir orang ini dapat dikatakan merupakan hasil dari mekanisme pasar yang sah, jika memang lahan tersebut didapatkan dengan transaksi tanpa paksaan mengolah tanah yang belum dimiliki orang. Mekanisme pasar cenderung akan menganugerahkan sumber daya kepada mereka yang paling mampu memanfaatkannya secara produktif. Jika 60 keluarga ini mengelola tanah secara efisien (misalnya, untuk pertanian skala besar atau investasi), ini bisa dianggap sebagai hasil yang wajar.
Namun, jika penguasaan tanah merupakan akibat kebijakan pemerintah seperti subsidi, proteksi, atau korupsi (koncoisme) maka ini bukanlah sesuatu yang baik. Aturan-aturan yang seringkali menguntungkan kaum elit hendaknya dihilangkan segera karena pemerintah , seharusnya sebagai pelindung keadilan. Konsentrasi kepemilikan lahan seperti ini bisa memicu ketidakstabilan sosial jika mayoritas masyarakat merasa terpinggirkan. Dari sejarah agraria, di jaman feodalisme, dimana elit menguasai lahan dalam skala besar mengarah kepada konflik sosial dan pemberontakan karena masyarakat setempat kehilangan akses ke sumberdaya yang sangat penting yaitu lahan. Jika 60 keluarga ini tidak memiliki ikatan emosional atau tanggung jawab terhadap tanah dan komunitas lokal, maka ini dapat menciptakan eksploitasi sumber daya tanpa memikirkan keberlanjutan.
Terkait masalah konsentrasi kepemilikan lahan kita dapat merujuk pada pengalaman Korea Selatan yang telah berhasil mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan. Setelah Perang Dunia II, Korea Selatan menghadapi ketimpangan kepemilikan lahan yang ekstrim, dimana sebagian besar tanah dikuasai oleh tuan tanah yang tidak bekerja di lahan tersebut, sementara petani kecil hidup sebagai penyewa dengan kondisi ekonomi yang buruk. Pemerintah Korea Selatan melakukan ekspropriasi tanah dari tuan tanah besar dan mendistribusikannya kepada petani kecil dengan hak kepemilikan penuh. Pemilik tanah besar diberi kompensasi yang adil untuk menghindari konflik berkepanjangan. Reformasi lahan ini didukung oleh sistem hukum properti yang kuat, seperti pendaftaran tanah dan akta kepemilikan, serta investasi dalam infrastruktur pedesaan, pendidikan, dan kredit untuk petani. Menurut laporan dari The Legatum Institute (2023), reformasi ini meningkatkan produktivitas pertanian, memungkinkan petani untuk berinvestasi dalam lahan mereka, dan mendorong urbanisasi serta pendidikan tinggi dalam satu generasi. Korea Selatan bertransisi dari negara agraris yang miskin menjadi salah satu ekonomi terkuat di dunia.
Reformasi ini berhasil karena menciptakan insentif pasar yang jelas bagi petani untuk meningkatkan produktivitas, dengan sistem kepemilikan yang transparan dan efisien. Redistribusi tanah memperkuat komunitas agraris, memberikan petani kecil otonomi dan stabilitas, yang dapat mencegah konflik sosial. Reformasi ini menghormati hak properti dengan memberikan kompensasi yang menguntungkan kepada pemilik tanah.
Begitu juga dengan Taiwan, setelah Perang Dunia II, Taiwan menghadapi konsentrasi tanah di tangan pemilik besar yang tidak tinggal di lahan mereka dan ini menghambat produktivitas pertanian. Reforma tanah yang dilakukan pemerintah dengan pengambilan tanah dari pemilik dan meredistribusikan kepada petani kecil, dengan kompensasi berupa obligasi pemerintah. Distribusi tanah yang adil meningkatkan output pertanian, daya beli pedesaan, dan mobilitas sosial, serta mendukung perkembangan industri. Penelitian menunjukkan reforma ini berkontribusi pada transformasi ekonomi Taiwan menjadi salah satu “Harimau Asia” (Land Reform Revisited).
Solusi
Hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan efisiensi dengan mengatasi fragmentasi tanah, memungkinkan penggunaan tanah yang lebih produktif melalui mekanisme pasar seperti penjualan dan sewa.
Pertama, pemerintah dapat mempertimbangkan program sukarela di mana pemilik tanah besar didorong untuk menjual sebagian tanah kepada petani kecil dengan insentif pajak atau kompensasi, didukung oleh sistem pendaftaran tanah yang transparan. Hal ini dilakukan untuk menghormati hak properti dengan tidak memaksa redistribusi, melainkan menggunakan mekanisme hukum untuk memfasilitasi transaksi sukarela dan memperkuat kepemilikan lahan. Terapkan pajak tanah yang lebih tinggi untuk kepemilikan skala besar yang tidak produktif, mendorong penggunaan tanah yang efisien tanpa redistribusi paksa.
Kedua, pemerintah memberlakukan mekanisme sewa jangka panjang bagi petani setempat di tanah para pemilik besar, dengan kontrak yang memberikan hak investasi dan kepastian hukum, tanpa mengganggu hak kepemilikan asli. Dengan memberikan kepastian kepada petani melalui sewa jangka panjang, reformasi ini memperkuat komunitas agraris dan mencegah ketidakstabilan sosial
Tentu saja pemerintah harus menjahit solusi ini dengan benang halus yang sesuai dengan permadani sejarah, budaya, dan hukum setempat. Audit sejarah kepemilikan adalah keharusan. Lakukanlah pengusutan menawan ini, sebagaimana Korea Selatan pernah dengan anggun memeriksa legalitas tanah-tanahnya, memastikan keadilan menari-nari di atas panggung tanpa memihak.
[ Editor : Sarjana ]