Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
News  

Biaya Tersembunyi Larangan Plastik

Catatan : Dr. Hendrawan Saragi

Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah

Jakarta, Balijani.id ( 25/4/2025 )

Biaya Ekonomi

Larangan penggunaan plastik sekali pakai, seperti tas belanja, telah menjadi tren di banyak wilayah, termasuk di berbagai kota di Indonesia, dengan tujuan mengurangi polusi lingkungan. Larangan ini bertujuan baik namun sering kali gagal mencapai tujuan lingkungan sambil menciptakan beban ekonomi yang signifikan. Studi yang diterbitkan oleh Freedonia Custom Research mengonfirmasi bahwa undang-undang New Jersey yang melarang tas plastic sekali pakai, yang mulai berlaku pada tahun 2022, justru menjadi bumerang. Studi ini memperkirakan bahwa pengecer di New Jersey memperoleh keuntungan $200.000 per toko dari penjualan tas alternatif, dengan total $42 juta untuk satu pengecer besar. Namun, keuntungan ini tidak merata, usaha kecil, seperti restoran lokal justru menghadapi kenaikan biaya kemasan hingga 30-50% yang mengurangi margin laba mereka.

Bagi bisnis lokal, seperti restoran kecil dan pengecer kecil, larangan ini meningkatkan biaya operasional. Kenaikan biaya ini memaksa bisnis kecil untuk menaikkan harga atau mengurangi margin keuntungan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam konteks pengembangan wilayah, bisnis kecil adalah penggerak utama lapangan kerja dan inovasi di komunitas perkotaan dan pedesaan. Dengan membebani mereka dengan regulasi larangan plastik dapat melemahkan vitalitas ekonomi wilayah.

Di California, toko dikenakan biaya 10 sen per tas kertas atau plastik tebal yang diteruskan biayanya kepada konsumen. Biaya ini membebani konsumen berpenghasilan rendah, yang sering kali tidak memiliki tas sendiri, dan ini dapat dianggap sebagai bentuk “pajak terselubung” yang mengurangi daya beli konsumen, terutama di wilayah perkotaan dengan biaya hidup tinggi. Konsumen mengalami ketidaknyamanan karena harus membeli tas yang dapat digunakan kembali, belanja dengan biaya tambahan.

Pemerintah New Jersey juga memberlakukan tas polipropilena untuk menggantikan plastik agar dapat dipakai ulang. Namun, dari studi didapatkan bahwa konsumen mengumpulkan tas polipropilena berlebih, 46-101 tas per rumah tangga, yang sering dibuang setelah 2-3 kali penggunaan, jauh di bawah perkiraan 10 kali yang diperlukan untuk mengimbangi dampak lingkungan. Tas polipropilena meningkatkan emisi gas rumah kaca sebesar 500% dibandingkan dengan tas plastik sekali pakai.

Demikian halnya dengan tas katun yang dipromosikan sebagai alternatif ramah lingkungan, memiliki dampak lingkungan terburuk karena memerlukan 7.100 kali penggunaan untuk menyamai efisiensi tas plastik. Proses produksi tas katun membutuhkan lahan untuk menanam kapas, air, dan energi, yang meningkatkan tekanan pada sumber daya wilayah. Konversi lahan untuk kapas dapat mengurangi lahan pertanian pangan, memengaruhi ketahanan pangan lokal. Selain itu, kebutuhan untuk mencuci tas katun secara rutin meningkatkan konsumsi air dan energi rumah tangga. Ada perpindahan beban dari satu sektor (permasalahan sampah plastik) ke sektor lain yang lebih besar (pemakaian air, energi, dll). Selain itu, tas yang dapat digunakan kembali, jika tidak dicuci secara rutin, dapat menjadi sarang bakteri seperti E. coli dan Salmonella. Di wilayah dengan akses terbatas ke air bersih atau mesin cuci risiko ini lebih tinggi dan masyarakat dapat terkena penyakit sehingga biaya kesehatan meningkat.

Pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada infrastruktur yang efisien, biaya hidup yang terjangkau, dan kelenturan konsumen. Larangan plastik sekali pakai, dapat mengganggu ketiga unsur ini. Akumulasi tas yang berlebihan di rumah konsumen, terutama bagi mereka yang menggunakan layanan pengiriman bahan makanan daring dapat meningkatkan beban logistik , di mana ruang penyimpanan terbatas dan biaya pengelolaan sampah tinggi (wilayah sering kali tidak memiliki infrastruktur daur ulang untuk tas yang dapat dipakai ulang).

Solusi

Larangan ini mengabaikan fakta bahwa tas plastik sekali pakai baik karena murah, praktis, dan efisien. Untuk itu sebaiknya pemerintah tidak melarang secara menyeluruh namun dapat memberikan insentif ataupun hibah kepada perusahaan yang mengembangkan alternatif, misalnya kemasan yang minimal dampak lingkungannya. Hal ini akan menuntut perusahaan berinovasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Inovasi pasar ini dapat menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Wilayah perkotaan dapat menjadi pusat penelitian dan pengembangan untuk teknologi baru, sementara wilayah pedesaan dapat memanfaatkan sumber daya lokal, seperti tanaman untuk bahan biodegradable, untuk diversifikasi ekonomi.

Kemudian, perlu memberlakukan privatisasi pengelolaan sampah, dimana nantinya pasar yang menentukan biaya pembuangan sampah berdasarkan kesulitan pengelolaannya, mendorong inovasi dalam pengurangan sampah plastik.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *