Jakarta, Balijani.id ~ Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dirancang sebagai pondasi baru sistem peradilan pidana nasional mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Tidak hanya akademisi dan praktisi hukum, para pengamat kebijakan publik juga memberikan catatan kritis terhadap arah perubahan yang tengah disusun oleh pemerintah dan DPR. Salah satu catatan tersebut datang dari IGN Agung Y. Endrawan, seorang pemerhati hukum yang pernah menjabat sebagai analis hukum senior di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktur Kebijakan di Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan kini sedang menempuh studi doktoral di bidang Kebijakan Publik. Pandangannya dipublikasikan dalam artikel yang diterbitkan oleh Tribunnews.com pada 23 Maret 2025.
Dalam artikelnya, Agung menyampaikan keprihatinan terhadap sejumlah ketentuan dalam RKUHAP yang dinilai dapat melemahkan peran strategis jaksa penuntut umum dalam keseluruhan proses peradilan pidana. Ia menyoroti secara khusus kecenderungan berkurangnya peran jaksa sebagai pihak yang secara konsisten memegang kendali perkara sejak tahap penyidikan hingga penuntutan. Dalam pandangannya, prinsip dominus litis yang menempatkan jaksa sebagai pengendali perkara merupakan salah satu fondasi penting dalam menjaga kesinambungan, objektivitas, dan akurasi proses penegakan hukum.
Menurutnya, penguatan fungsi kejaksaan tidak sepatutnya dipahami sebagai upaya untuk mendominasi atau meniadakan fungsi institusi penegak hukum lainnya. Sebaliknya, ia menekankan bahwa harmoni antar lembaga hukum adalah kunci tercapainya keadilan substantif. Ia bahkan mengibaratkan pentingnya kesatuan arah dan kendali dalam proses hukum seperti sebuah orkestra, di mana seluruh instrumen harus berjalan serasi.
“Bagaimanapun juga, dalam setiap proses pengambilan keputusan, tidak mungkin ada dua matahari,” tulisnya.
Sebagai contoh, Agung mengulas sebuah perkara yang menjadi perhatian, yakni kasus pagar laut. Dalam kasus tersebut, penyidik menyimpulkan adanya dugaan pemalsuan, sementara jaksa menemukan indikasi awal yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Petunjuk dari jaksa agar penyidikan diperluas tidak mendapat tindak lanjut, sehingga perkara kembali ke tahap semula tanpa kejelasan arah penanganan. Agung menilai, situasi semacam ini menggambarkan adanya potensi stagnasi dan ketidakkonsistenan yang secara tidak langsung dapat menghambat pencapaian keadilan.
Ia juga mencermati bahwa sistem peradilan di Indonesia selama ini masih menganut pola diferensiasi fungsional secara ketat, yaitu pemisahan tugas dan kewenangan antara penyidik dan penuntut umum. Meski secara teoritis pendekatan ini bertujuan menjaga independensi dan fokus peran masing-masing lembaga, dalam praktiknya sering kali menimbulkan kendala koordinasi, keterlambatan, dan kesenjangan dalam alur penanganan perkara. Menurut Agung, kurangnya mekanisme penyelesaian yang bersifat final terhadap perbedaan tafsir hukum antara penyidik dan jaksa merupakan salah satu kelemahan utama dari pendekatan ini. Fenomena bolak-balik berkas yang terus berulang mencerminkan tantangan dalam memberikan layanan hukum yang efektif dan dapat diandalkan publik.
Dalam konteks tersebut, Agung berpandangan bahwa pembaruan hukum acara pidana idealnya dapat mendorong penguatan sistem peradilan pidana yang terintegrasi, sebagaimana dikenal dalam konsep integrated criminal justice system. Sistem ini menekankan pentingnya kolaborasi sinergis antar elemen penegak hukum penyidik, jaksa, dan hakim dalam satu kesatuan sistem yang menyatu. Agung mengingatkan bahwa RKUHAP hendaknya tidak memperkuat pola terpisah atau separated criminal justice system, yang berpotensi menjadikan proses penegakan hukum berjalan sendiri sendiri tanpa koordinasi substansial. Padahal, keberhasilan sistem hukum sangat bergantung pada keselarasan peran untuk memastikan tujuan keadilan tercapai.
Dalam rancangan RKUHAP yang saat ini dibahas, disebutkan bahwa kewenangan jaksa hanya terbatas pada peran “konsultatif” dan “koordinatif” apabila berkas perkara belum lengkap. Sayangnya, tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit memberi jaksa kewenangan korektif yang bersifat mengikat. Menurut Agung, kekosongan ini dapat melemahkan daya jangkau jaksa dalam menjamin keutuhan, ketepatan, dan kebenaran materiil perkara sebelum sampai ke persidangan.
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan praktik di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Belanda, dan Malaysia. Di banyak yurisdiksi tersebut, jaksa tidak hanya berperan sebagai penuntut, tetapi juga memiliki kewenangan yang cukup untuk memastikan kelengkapan dan akurasi substansi perkara. Mereka dapat mengakses langsung alat bukti, memanggil saksi dan ahli, serta bahkan mengambil alih proses penyidikan apabila dirasa diperlukan. Pendekatan ini dinilai memberikan jaminan yang lebih kuat terhadap kualitas pembuktian dan integritas proses hukum.
Agung juga mencatat bahwa Pasal 64 RKUHAP hanya menempatkan jaksa sebagai pihak yang memberikan petunjuk dan meneliti berkas perkara, tanpa disertai instrumen untuk melakukan penyelidikan tambahan secara langsung terhadap fakta yang meragukan. Konsekuensinya, jaksa dapat terjebak dalam posisi pasif, meskipun ia tetap memikul tanggung jawab penuh dalam proses persidangan.
Ketidakseimbangan ini menurutnya tidak hanya membatasi ruang gerak kejaksaan, tetapi juga berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sorotan lain diarahkan pada mekanisme kerja Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang sampai saat ini belum memiliki jalur koordinasi langsung dengan penuntut umum. Seluruh proses penyampaian hasil penyidikan PPNS masih harus melalui perantara kepolisian, yang dalam beberapa kasus menimbulkan keterlambatan administratif. Berbeda dengan Indonesia, di negara-negara seperti Belanda dan Jepang, lembaga sejenis PPNS memiliki akses koordinatif langsung dengan kejaksaan, sehingga dapat menjaga efisiensi dan independensi proses penyidikan.
Sebagai usulan perbaikan, Agung menyarankan agar RKUHAP secara eksplisit memuat norma hukum yang memberi jaksa kewenangan melakukan pemeriksaan tambahan, memanggil pihak-pihak terkait, serta mengakses langsung berbagai bentuk alat bukti penting. Selain itu, ia juga mendorong agar jaksa diberi hak mengambil alih penyidikan apabila terdapat indikasi bahwa petunjuk hukum tidak dijalankan dalam batas waktu yang wajar. Ha ini diperlukan agar pelayanan masyarakat dalam proses hukum terlayani dengan baik, sebagaimana cita-cita negara hukum dan konsep reformasi birokrasi.
Ia mengingatkan bahwa ketentuan dalam RKUHAP yang memungkinkan penyidik menghentikan perkara secara sepihak seyogyanya dikaji ulang. Untuk menjaga prinsip akuntabilitas dan mencegah potensi penyalahgunaan, setiap proses penghentian perkara diharapkan idealnya berada dalam pengawasan institusi kejaksaan sebagai pihak yang mewakili kepentingan negara dalam proses penuntutan “membuktikan” (bukan memutuskan) benar dan salahnya seseorang, karena penyidikan merupakan rangkaian dari proses penuntutan yang tidak terpisah.
Agung menutup artikelnya dengan menegaskan bahwa dominus litis bukan sekadar istilah dalam ranah teknis hukum, melainkan cerminan dari prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ia menekankan bahwa sistem hukum nasional perlu memberikan ruang yang memadai bagi jaksa untuk menjalankan tanggung jawabnya secara utuh. Dengan demikian, penguatan peran kejaksaan dalam RKUHAP bukan hanya relevan secara kelembagaan, tetapi juga menjadi bagian penting dari upaya mewujudkan sistem peradilan yang adil, terintegrasi, dan sejalan dengan harapan masyarakat. Artikel ini dimaksudkan untuk menutup celah permasalahan penanganan perkara selama ini, ujarnya.
[ Reporter : Dwikora A.S ]