Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
Sosial  

Tri Hita Karana: Fondasi Harmoni Tempat Ibadah dan Pariwisata Bali

Catatan : Kadek Supri Budiadnyana Mahasiswa Magister Akuntansi 2024 UNDIKSHA

Bali, Balijani.id ~ Dengan julukan Pulau Dewata, telah lama dikenal sebagai destinasi wisata dunia yang menyatukan keindahan alam, budaya, dan spiritualitas. Keindahan alam yang dimiliki bali mampu memikat berbagai wisatawan manca negara untuk datang melihat dan menikmati berbagai wisata alam seperti pegunungan, pantai, dan persawahan. Selain itu, nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh masyarakat bali dalam kehidupan sehari-hari menjadi sesuatu yang unik untuk dilihat oleh para wisatawan bali. Tidak hanya keindahan alam dan budaya, bali juga memiliki pesona spiritualitas yang mendalam yang dibuktikan dengan adanya berbagai bangunan suci pura sebagai tempat ibadah agama hindu. Sehingga untuk menjaga keharmonisan alam, budaya dan spiritualitas ini perlunya keseimbangan harmoni agar semua aspek tetap terjaga.

Salah satu filosofi mendasar yang membentuk harmoni ini adalah Tri Hita Karana, yang berarti “tiga penyebab kebahagiaan.” Konsep ini mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).

Implementasi Tri Hita Karana tidak hanya terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tetapi juga tercermin dalam pengelolaan tempat ibadah yang menjadi daya tarik wisata.

Tempat ibadah di Bali, seperti pura-pura besar contohnya Pura Besakih, Tanah Lot, dan Uluwatu menjadi bukti nyata implementasi Tri Hita Karana. Dalam konteks Parahyangan, tempat-tempat ini berfungsi sebagai ruang sakral untuk

sembahyang dan ritual. Namun, dalam kaitannya dengan Pawongan, tempat ini juga dirancang untuk membuka ruang bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat budaya dan spiritualitas Bali, tanpa mengurangi kesakralannya. Berbagai aktraksi sakral yang ditampilkan sebagai bentuk daya tarik budaya bali yang dimiliki agar bisa dinikmati oleh para wisatawan tanpa mengurangi esensi nilai spiritual itu sendiri. Pada sesungguhnya alam Bali ini dipelihara dengan yoga, maka kental sekali hal ini sebagai aplikasi dari ajaran Veda “Craddhaya satyam apnopi, cradham satye prajapatih” yang artinya “Dengan sradha orang akan mencapai Tuhan, beliau menetapkan, dengan Sradha menuju satya”. (Yajur Weda XIX.30). sloka ini menunjukan bahwa dengan keyakinan, manusia mengakui penuh adanya Tuhan. Dengan keyakinan inilah mereka melangkah dengan segala akal dan budayanya sehingga mampu mencapai kebaikan.

Melalui pendekatan Tri Hita Karana, komunitas lokal diberdayakan sebagai pengelola yang menjaga keseimbangan antara fungsi religius dan ekonomi. Pemandu lokal misalnya, tidak hanya memberikan informasi kepada wisatawan tetapi juga mendidik mereka tentang pentingnya menghormati tradisi dan norma setempat. Pentingnya pendidikan ini dilakukan untuk menjaga dan melestarikan kawasan tempat ibadah agar nilai kesakralan dan nilai spiritualnya tidak berkurang. Dalam aspek Palemahan, pelestarian lingkungan sekitar tempat ibadah menjadi prioritas utama. Contohnya, Tanah Lot menerapkan zona konservasi untuk melindungi ekosistem pantai dari eksploitasi berlebihan. Demikian pula, desa-desa adat di sekitar pura besar sering menerapkan sistem gotong royong untuk membersihkan area pura, memastikan keindahan lingkungan tetap terjaga. Dalam hal ini Kesadaran masyarakat menjadi kunci penting dalam menjaga kelestarian lingkungan pada tempat ibadah. Penerapan Tri Hita Karana ini tidak hanya melindungi keaslian budaya dan spiritual Bali tetapi juga menjadikan tempat ibadah sebagai contoh pariwisata berkelanjutan. Wisatawan yang datang tidak hanya menikmati pemandangan indah, tetapi juga mendapat pemahaman lebih dalam tentang nilai-nilai lokal yang menjunjung tinggi keharmonisan. Perilaku ini memang sangat mendasar sesuai pemahaman Masyarakat tentang ajarannya antara lain dengan kesadaran yang memurnikan untuk kebaikan diri dan alam sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana. Kitab Atharwaveda XII.1.45 menyebutkan “Jnanam bibharati bahudha vivacasam, Naandharmanam prthivi yathaikasam, Sahasram dhara dravinasya meduham, Dhravev adhenuranapasphuranti” yang artinya berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menganut berbagai kepercayaan yang berbeda. Hargailah mereka yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberikan keseimbangan bagaikan sapi yang memberi susunya kepada umat manusia. Demikian, ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang melimpah kepada umatnya. Sloka ini memberikan pesan bahwa keharmonisan dalam satu rumah besar yang namanya bhumi merupakan cikal bakal menuju keharmonisan sesungguhnya.

Tantangan dan Harapan Namun, implementasi Tri Hita Karana dalam pariwisata tidak lepas dari tantangan. Komersialisasi yang berlebihan terkadang mengancam kesakralan pura, sementara lonjakan jumlah wisatawan dapat memberikan tekanan pada lingkungan dan masyarakat lokal. Perlunya sosialisasi tentang rambu-rambu ketika memasuki tempat ibadah agar para wisatawan mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam area tersebut. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat dan kesadaran kolektif untuk menjaga keseimbangan. Penerapan regulasi yang tegas akan memberikan rambu-rambu baik kepada wisatawan dan masyarakat lokal dalam keberlangsungan pariwisata di Bali.

Sebagai penutup, Tri Hita Karana adalah fondasi yang menjadikan Bali unik di

mata dunia. Filosofi ini tidak hanya menjaga keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Bali tetapi juga menawarkan solusi berkelanjutan untuk pariwisata modern. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ini, Bali dapat terus menjadi inspirasi bagi dunia dalam menciptakan hubungan yang selaras antara spiritualitas, budaya, dan alam.

[ Editor : Sarjana ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *