Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks
News, Opini  

Semua Akan Mumet Pada Waktunya

Catatan : Nyoman Sarjana

Pencinta Kopi Pahit & Pekerja Jurnalis

Buleleng, Balijani.id ~ Negeri ini sedang tidak baik-baik saja, karena akrobat politik yang dipertontonkan dengan menabrak rambu-rambu konstitusi

Sambil menikmati kopi pahit sambil nikmati Sunset di Pantai Penimbangan Buleleng, Saya teringat apa yang dikatakan Chairul Tanjung, pemilik Trans Group bahwa politik itu lebih dekat kepada neraka. Politik yang sedianya adalah suci, telah terkontaminasi dan menjadi tak lagi bersih. Sering terjadi pengkhianatan hanya untuk menuntaskan hasrat ingin terus berkuasa.

Maka, nyaris selalu terjadi, bila orang baik masuk ke ranah politik, ia berpotensi berubah menjadi orang jahat. Karena sulit sekali ditemukan, orang jahat yang masuk politik, justru bertransformasi menjadi orang baik.

Hal ini terjadi karena sistem politik kita telah menjadi seperti benang kusut. Sulit sekali diurai. Konflik kepentingan telah menyandera niat suci jadi tak bisa lagi bersih.

Matrialistiknya politik di Indonesia telah membuat produk demokrasi seperti komoditas dagangan. Nuansa transaksional sudah bukan rahasia lagi. Mahar dukungan partai, jual beli suara pemilih, dramatisir hukum politik, semua demi merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Oleh karena itu, bisa jadi sistem politik jahat inilah yang menjadi musabab meredupnya semangat rakyat untuk berpesta demokrasi. Mereka seakan hanya nyaman di belakang panggung. Tak peduli, siapa yang akan tampil dan apa yang akan ditampilkan. Toh, pertunjukkan itu tak lagi menarik hati. Memuakkan. Praktik-praktik culas pun dipertontonkan, pokoknya harus berkuasa meski menabrak rambu-rambu konstitusi.

Saya kembali merenung…

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan.

Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dan bukan pula semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut yang dapat ditangani dengan memakai rasionaliitas.

Berpolitik hendaknya dilakukan dengan senantiasa menjadikan Pancasila sebagai landasan etika sehingga menghasilkan prinsip politik yang santun, damai, dan menyejukkan, tidak membuat gaduh dan membingungkan rakyat. Politik sontoloyo.

Saya menarik nafas panjang, ada rasa gundah berkecamuk…

Saya pun teringat tokoh Sengkuni dalam pewayangan. Dalam konteks ini, ada setitik nilai yang bisa dipelajari dari contoh buruk politikus culas dalam cerita wayang. Ia Trigantalpati, elite Astina pada rezim Kurawa, yang kondang dengan nama Sengkuni. Poinnya bukan pada mazhab pragmatisme yang ia usung, melainkan pada ‘kejujurannya’ dalam berpolitik.

Sengkuni tidak pernah tendheng aling-aling memperlihatkan wajah politiknya yang diakuinya tidak beradab. Ia bukan tipe politikus yang menyembunyikan sesuatu atau munafik dan berani pasang badan menghadapi nistaan.

Permainan politik Sengkuni bersemai ketika pada suatu hari kakaknya, Gendari, yang dinikahi Drestarastra, memintanya mencari cara agar salah satu dari 100 anaknya menjadi raja. Kala itu tampuk kekuasaan Astina dipegang Pandu Dewanata, adik kandung Drestarastra.

Drestarastra ialah putra sulung raja sebelumnya, Kresnadwipayana. Berdasarkan paugeran, ia berhak menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun, ia menolaknya karena alasan matanya tidak bisa melihat (buta). Ia legawa tidak duduk di singgasana dan mempersilakan adiknya, Pandu, meneruskan estafet kepemimpinan di Astina.

Dalam sejarah Astina, praktik politik di negara ini dipenuhi keadaban. Pada gilirannya, negara stabil, rakyat hidup rukun, dan sejahtera. Tidak mengherankan bila Astina menjadi negeri yang agung dan disegani.

Citra bersih perpolitikan Astina berubah keruh dan gaduh ketika Sengkuni mulai bermain. Itu diawali ketika terjadi kesalahpahaman antara Pandu dan muridnya, Tremboko, pemimpin Negara Pringgondani.

Sengkuni berhasil mengadu domba kedua pemimpin tersebut sehingga terjadilah peperangan. Baik Pandu maupun Tremboko akhirnya gugur. Sebelumnya, ia memfitnah patih Astina, Gandamana, sehingga terjungkal dari kursinya.

Jabatan orang kedua di Astina itu pun jatuh dalam genggamannya. Bukan tanpa ongkos, Sengkuni menjadi patih dengan membayar mahal. Seluruh raganya rusak akibat digebuki Gandamana. Ia yang semula gagah dan tampan menjadi penuh bopeng. Ini risiko yang telah diperhitungkan dan ia nyaman menanggungnya selama hayat dikandung badan.

Sepeninggal Pandu, Drestarastra menjadi raja ad-interim. Pada era itulah Sengkuni mengeluarkan jurus politiknya. Dengan kecerdikan akal dan kelihaiannya bicara, ia memperdaya Drestarastra sehingga bersedia menobatkan putranya, Jaka Pitana, menjadi Raja Astina.

Kala itu Drestarastra masih eling sesungguhnya yang berhak menjadi raja ialah Pandawa, anak-anak Pandu. Namun, karena keponakannya–Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten–itu masih kecil-kecil alias belum dewasa, untuk sementara kekuasaan Astina ia serahkan kepada Jaka Pitana.

Bagi Sengkuni, garis politiknya bahwa kekuasaan Jaka Pitana yang bergelar Prabu Duryudana harus selamanya. Tidak ada periode sementara. Maka, perjuangannya mengamankan kekuasaan Duryudana sekaligus menjamin kehidupan Kurawa, keturunan Drestarastra-Gendari.

Pada titik inilah awal munculnya perselisihan abadi antara Kurawa dan Pandawa. Dua keluarga yang adalah saudara sepupu dan sesama trah Abiyasa ini menjadi berseteru. Sengkuni mengerahkan segala kemampuan, bahkan mempertaruhkan jiwa raganya. Apa pun ditempuh untuk melenyapkan Pandawa.

Itulah satu-satunya cara agar Duryudana (Kurawa) langgeng menguasai Astina. Di antara rangkaian upaya busuk itu antara lain terceritakan dalam peristiwa Bale Sigala-gala. Ini skenario gila, membakar Pandawa hidup-hidup yang dikemas dalam acara rencana pengembalian takhta Astina kepada putra Pandu. Namun, upaya yang sangat menggiriskan itu akhirnya gagal. Pandawa selamat tanpa cacat.

Pada lain waktu, Sengkuni mulus memaksa paranpara Astina Resi Durna memperdaya Pandawa, khususnya Bratasena. Pilar Pandawa itu diskenariokan mati konyol. Ini dapat disimak dalam lakon Bima Suci.

Namun, Bratasena tidak sirna, justru mendapatkan ilmu rahasia hidup yang diimpikan, yakni ilmu sangkan paraning dumadi. Cara licik lain tersua dalam kisah Main Dadu. Sengkuni sukses menjebloskan Pandawa ke ‘penjara’ di hutan Kamyaka selama 12 tahun.

Namun, upaya menyirnakan ahli waris sejati Astina itu kembali tanpa hasil. Malah, para putra Pandu mendapat anugerah dari Sanghyang Manon berkat kepasrahan menjalani pengasingan dengan laku prihatin. Manuver Sengkuni akhirnya pungkas dalam Bharatayuda. Ia tewas di tangan Werkudara di hari-hari terakhir perang besar di Kurusetra tersebut. Pada detik-detik menjelang ajal menjemput, Sengkuni menyatakan tidak menyesali atas semua yang telah ia perbuat.

Sengkuni merupakan contoh busuk dalam berpolitik. Ia tokoh tengik yang menghalalkan segala cara. Dalam kamusnya, tidak ada norma dan etika. Siapa pun yang bertentangan dengan garis politiknya, Sengkuni tidak segan menyatakan berseberangan, sekalipun mereka pepunden Astina semisal Resi Bhisma dan Prabu Salya, mertua Duryudana.

Namun, dalam kebusukannya itu masih ada nilai karakternya yang bisa direnungkan. Sengkuni bukan politikus hipokrit. Ia apa adanya, tidak ada yang disembunyikan. Ia pun anggap enteng cap yang disematkan pada dirinya sebagai leletheking jagat panuksmaning jajalanat, yang artinya penjelmaan iblis yang paling jahat di jagat.

Sengkuni tidak mau menjadi pribadi palsu. Antara hati, pikiran, ucapan, dan perilakunya klop. Ibarat musang, ia tampil apa adanya sebagai musang, bukan musang yang bergaya dengan bulu domba. Aspek ‘kejujuran’ inilah yang masih sulit ditemukan pada politisi negeri ini.

Mengapa banyak orang berbohong, bahkan berpolitik kebohongan dan kecurangan? Bukankah kebohongan itu pada akhirnya menghancurkan kredibiitas dan integritas sang pembohong? Karena kejujuran belum dihabituasi dan belum menjadi karakter mulia yang mempribadi.

Bila praktik-praktik politik culas terus dibiarkan, bangsa ini akan semakin tenggelam dalam keterpurukan, dan semua akan mumet pada waktunya.

*) Sarjana pecinta kopi pahit dan pekerja jurnalistik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *