Oleh : Dr. Hendrawan Saragi
Peneliti Ekonomi dan Pengembangan Wilayah
Jakarta, Balijani.id ~ Pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan menjadi minimal 40% dari sebelumnya 25%. Dengan tarif 25% saja sudah menempatkan negara kita sebagai yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain seperti; Thailand (5%), Malaysia (10%), dan Singapura (15%), bahkan dari negara yang diperintah sosialis seperti Prancis (10% untuk hiburan umum, 20% untuk hiburan kelas atas).
Di India bahkan tidak lagi membebankan pajak hiburan sejak Juli 2017 dan dimasukkan ke dalam Goods and Services Tax (GST). Pajak hiburan di India diluncurkan pertama kali oleh pemerintah Inggris ketika memerintah India untuk mengekang kerumunan/pertemuan publik.
Usaha hiburan merupakan bagian dari perusahaan yang tidak boleh dianggap remeh karena faktanya perusahaanlah yang berperan besar dalam penciptaan dan pertumbuhan kelas menengah di suatu daerah. Beberapa orang yang berbakat mendirikan perusahaan yang menyediakan lapangan kerja bagi ratusan pekerja dan melayani ribuan pelanggan. Mereka mendukung industri hiburan mulai dari skala kecil sampai rekreasi kelas besar. Dalam pasar seperti ini kekayaan orang kaya yang terdiri dari alat-alat produksi seperti pabrik, toko, alat komunikasi dan transportasi menjadikan tenaga kerja lebih banyak dan produktif. Ketika beban pajak ditingkatkan pada perusahaan maka para pelaku usaha seringkali menghadapi kesulitan besar tidak hanya dalam memenuhi kewajiban pajak tetapi juga melanjutkan usaha dengan modal yang lebih kecil. Tak jarang hal ini dapat memaksa mereka menutup usahanya.
Kenaikan pajak ini sebagian besar biayanya akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga dan kepada pekerja dalam bentuk penurunan upah bahkan pemutusan hubungan kerja. Para pekerja ini sebagian besar masih muda dan sehat, karena kalau tidak maka mereka tidak akan tahan mencari nafkah berjam-jam di tempat yang tidak terlalu besar beramai-ramai dan sampai malam hari. Sebagian mereka mungkin tinggal di daerah lain, datang di akhir pekan atau beberapa kali seminggu untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin kemudian pulang ke rumah untuk menjalani kehidupan sebagai pelajar, ibu rumah tangga atau apapun. Pun juga para peniru tokoh-tokoh, musisi yang tampil di panggung secara live, dan penghibur kecil lainnya dapat kehilangan pekerjaan akibat pajak ini.
Jika tarif pajak dinaikkan maka dapat juga menyebabkan perusahaan menginvestasikan uangnya ke daerah lain yang mengenakan pajak lebih rendah. Akibatnya kesempatan kerja, upah, dan pertumbuhan ekonomi daerah akan menurun dan pada akhirnya akan merugikan kelas menengah.
Persaingan pajak adalah bisnis global saat ini dengan semakin meningkatny jalur perdagangan global. Jika daerah B menerapkan tarif pajak tetap sebesar 40 persen, dan daerah T hanya mengenakan tarif pajak sebesar 10 persen, maka arus orang dan uang akan pindah dari B ke T. Semakin banyak perusahaan yang meninggalkan B ke T, maka B akan kehilangan basis pajaknya.
Data anggaran negara selama beberapa tahun terakhir menunjukkan meskipun penerimaan pajak ditingkatkan namun pengeluaran pemerintah terus meningkat berkelanjutan; tahun 2016 penerimaan pajak Rp 1.284,97 T, utang Rp 3.511, 16 T, dan defisit Rp 307,6 T; tahun 2018 penerimaan pajak Rp 1.521,4 T, utang Rp 4,481 T, dan defisit Rp 325,9 T; tahun 2020 penerimaan pajak Rp 1.285,2 T, utang Rp 6.102 T, dan defisit 947,7 T; di tahun 2022 penerimaan pajak 1.924,9 T, utang Rp 7.822,6 T, dan defisit Rp 460,4 T, tahun 2023 penerimaan pajak Rp 2.155,4 T, utang Rp 8.144,69 T, dan defisit 347,6 T. Ketika pemerintah berbelanja lebih banyak daripada yang diperolehnya dari penerimaan pajak ini artinya bukan defisit yang terjadi melainkan total belanja pemerintah yang mendistorsi perekonomian dan membuat swasta kekurangan sumberdaya. Peningkatan tarif pajak tanpa pemotongan pengeluaran pemerintah tetap tidak akan efektif meningkatkan penerimaan negara.
Pengurangan tarif pajak sebetulnya dapat meningkatkan basis pajak, menghasilkan upah yang lebih tinggi, lebih banyak lapangan kerja dan memunculkan insentif bagi usaha untuk berinvestasi terus. Para politisi pendukung pajak yang tinggi jarang mempertimbangkan ‘hilirisasi’ dari kebijakan mereka. Mereka mementingkan solusi boros jangka pendek daripada stabilitas fiskal jangka panjang.
Pasangan Capres-Cawapres 2024 hendaknya bersedia untuk mengurangi utang dan defisit anggaran pemerintah dengan mengurangi pajak daripada sibuk berjanji menghabiskan sejumlah besar uang pembayar pajak untuk skema program apapun yang menurut mereka dapat memenangkan lebih banyak suara.
Editor : Nyoman Sarjana