Berita Sarin Gumi Nusantara
RedaksiIndeks

Partai Politik Menjadi Penentu Masa Depan Bangsa, Saat Ini Cenderung Membawa Kehancuran

Denpasar, Balijani.id – Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely’ (‘kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup’) begitulah pernyataan kalimat dari Lord Acton (1833-1902) yang terkenal mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah.

Karena itu, kekuasaan Eksekutif atau Presiden harus dibatasi, dimana harus melalui pengawasan yang ketat agar tidak menyimpang dan berkembang menjadi kekuasaan absolut, kekuasaan tirani, kekuasaan sewenang-wenang, dan yang pastinya korup.

Adapun, lembaga yang mengawasi Eksekutif dinamakan Parlemen, terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang menyebut dirinya ialah ‘perwakilan rakyat’. Yang mana kelompok tersebut diberi identitas sebagai Partai Politik.

Sementara itu, Parlemen yang terdiri dari perwakilan Partai Politik tersebut mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi membuat undang-undang sebagai lembaga Legislatif.

Bahkan, Parlemen harus mengawasi Presiden agar roda pemerintahan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Parlemen juga harus mengawasi penggunaan anggaran (fiskal) negara, untuk kepentingan masyarakat luas, untuk mencapai keadilan sosial.

Selain itu, Parlemen juga wajib membuat undang-undang yang berpihak kepada kepentingan bangsa, dan mengawasi pemerintah agar selalu patuh terhadap perintah undang-undang tersebut.

Semua itu menjelaskan betapa pentingnya fungsi Parlemen sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan Presiden, khususnya di dalam sistem presidensial di mana Presiden mempunyai kekuasaan sangat besar.

Kalau fungsi Parlemen ini dijalankan dengan benar dan jujur, maka praktis sebagian besar permasalahan bangsa sudah terselesaikan dengan sendirinya, dengan memberlakukan dan melaksanakan peraturan dan undang-undang yang adil, dan berpihak kepada kepentingan bangsa.

Sebagai contoh, peraturan dan undang-undang anti-monopoli diberlakukan untuk menciptakan persaingan pasar sempurna (prefect market competition) yang adil bagi semua pelaku pasar. Kalau undang-undang anti-monopoli tersebut dijalankan dengan benar, maka dengan sendirinya akan tercipta industri yang lebih efisien, alokasi faktor produksi lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, dan merata.

Sebaliknya, apabila undang-undang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu, tidak adil dan bertentangan dengan kepentingan bangsa, maka undang-undang tirani tersebut dapat memicu kekacauan, memicu perpecahan bangsa, menuju jurang kehancuran, misalnya UU KPK atau UU Cipta Kerja, yang ditengarai banyak pihak tidak pro kepentingan bangsa, sempat memicu protes dan demo dari berbagai kelompok masyarakat, bahkan menelan korban.

Apa jadinya, kalau undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, atau undang-undang anti-demokrasi diberlakukan? Apakah bangsa ini akan menjadi lebih baik, atau malah membawa negara ini menjadi negara tirani menuju jurang kehancuran?

Artinya, Parlemen mempunyai peran kritikal dalam menentukan nasib bangsa di masa depan, menentukan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Semua ini tergantung dari Partai Politik, apakah dapat mengendalikan Parlemen dan membuat undang-undang yang pro-rakyat, apakah dapat mengawasi Presiden secara efektif, atau malah mendukung Presiden menjalankan roda pemerintahan secara tirani?

Kalau Parlemen menjalankan fungsinya secara benar, maka fungsi Presiden menjadi tidak terlalu penting lagi. Kemudian, Pemilihan Presiden (Pilpres) bukan lagi merupakan peristiwa istimewa. Pilpres menjadi lebih sederhana, hanya fokus kepada calon presiden yang mampu taat hukum berdasarkan rule-of-law, serta bermoral dan beretika tinggi. Namun permasalahan kementerian teknis dapat dengan mudah diselesaikan oleh para teknokrat dalam bidangnya masing-masing.

Oleh Karena itu, tugas utama Presiden hanya menjalankan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Apabila Presiden tidak taat dan menyimpang dari peraturan dan undang-undang tersebut, maka Parlemen wajib menegur, kalau perlu memberhentikan Presiden dalam hal yang terjadi pada pelanggaran berat misalnya, pelanggaran konstitusi, pelanggaran HAM atau pelanggaran berat lainnya.

Maka dari itu, Partai Politik tidak perlu memagari kekuasaannya dengan menetapkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi 20 persen. Sebaliknya, jika semakin banyak calon presiden, dan semakin baik bagi bangsa ini, sehinga kemungkinan semakin besar mendapatkan calon presiden yang taat hukum dan bermoral tinggi yang dapat menjalankan peraturan dan undang-undang secara adil.

Sedangkan, Partai Politik tidak boleh menjadikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’. Setiap orang yang menjadi Presiden wajib membebaskan dirinya dari identitas Partai Politik. Mereka harus bersumpah untuk taat pada semua peraturan dan undang-undang, serta konstitusi.

Sebab itu, Partai Politik yang menyatakan Presiden dan Kepala Daerah sebagai ‘Petugas Partai’ secara jelas telah berniat melanggar konstitusi. Karenanya, Partai Politik secara konstitusi mengendalikan Parlemen, dan kini juga berniat mengendalikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’, melanggar fungsi Parlemen sebagai pengawas Presiden, dan menciptakan tirani Partai Politik.

Penyatuan fungsi Eksekutif dan Parlemen oleh Partai Politik sedang berlangsung sangat cepat di era reformasi, terus berkembang dan memburuk sejak tahun 2014 lalu ketika pengusaha ikut mengatur calon presiden.

Terkait hal itu, demi mewujudkan masa depan Bangsa Indonesia, rakyat wajib menuntut Partai Politik kembali kepada fungsi yang sebenarnya dengan sebagai tahap awal, dan Partai Politik wajib menghapus presidential threshold menjadi nol persen.

Perspektif : A.A Ngurah Rai Santika

Pengamat Kebijakan Publik Bali

Dewan Kehormatan DPD Demokrat Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *