Oleh : Jitro Atti
Aktifis Muda TTS
Nusa Tenggara Timur, Balijani.id II
Pada beberapa kasus, yang terkadang dialami oleh pasangan suami-istri adalah orang tua yang meminta anak bercerai dari salah satu pasangannya.
Meski diperbolehkan, menceraikan suami atau istri bukanlah solusi yang tepat jika masih ada jalan lain untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga tersebut.
Begitu juga tidak dibenarkan bagi seseorang /siapapun yang ingin merusak hubungan pernikahan orang lain, meskipun itu orang tua terhadap anaknya sendiri.
Orang tua tidak boleh merusak dan menyuruh anaknya bercerai dengan pasangannya tanpa adanya alasan yang tepat dan dibenarkan sesuai ajaran agama.
Merusak hubungan pernikahan orang lain, meskipun itu dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sendiri, disebut dengan kafir, dan hukumnya adalah haram.
Sedangkan hukum agama Kristiani, baik Kristen Katholik maupun Kristen protestan melarang terjadinya sebuah perceraian dengan dasar Firman Tuhan dalam Matius 19 : 4-6. Dalam Hukum Kristen Katholik segala aturan gereja termasuk perkawinan diatur satu komando dalam Kitab Hukum Kanonik, sedangkan dalam Hukum Kristen Protestan diatur masing – masing gereja.
Kali ini muncul sebuah pertanyaan menggelitik, bolehkah orangtua / keluarga mengintervensi rumah tangga anaknya? Bolehkan orangt ua menyuruh anak untuk bercerai?.
Jika orang tua menyuruh anaknya untuk bercerai, apakah perintah itu wajib diikuti demi bakti kepada orang tua?. Demikian pula, jika orang tua /keluarga menyuruh anak perempuan untuk menggugat cerai suami, apakah perintah itu wajib diikuti demi bakti kepada orang tua?.
Jawabannya tidak tunggal. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan cermat. Intervensi orang tua terhadap keluarga anak sampai tingkat meminta anak menceraikan atau menggugat cerai salah satu pasangan yang sudah menikah, bisa menjadi hal yang wajar, namun bisa menjadi hal yang berlebihan.
Kita harus cermat melihat konteks. Bukan hanya teks serta tanpa adanya landasan pemahaman tentang ajaran Kristen itu sendiri.
Diketahui, dalam Roma 7: 2-3 “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.
Dilain hal, Perceraian terjadi ketika sepasang suami istri memutuskan untuk tidak lagi memenuhi ikatan pernikahan mereka. Ada beberapa faktor yang dikemukakan oleh penulis sebagai alasan terjadinya perceraian dalam kehidupan pernikahan, diantaranya,
-Motivasi yang keliru dalam menikah,
-Komunikasi keluarga yang tidak berjalan dengan mulus dan tidak saling membangun satu sama lainnya,
-Kesulitan ekonomi dan keuangan,
-Intervensi pihak ketiga dalam keluarga, misalnya orang tua, saudara,
-Ketidaksetiaan pada pasangan,
-Ketidakdewasaan dalam mengelola konflik.
Namun sebenarnya, Perceraian yaitu pemutusan ikatan pernikahan secara hukum, ini merupakan penyimpangan dari maksud Allah. “kata Yesus kepada mereka: ‘karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”. Hal ini membuktikan bahwa perceraian bukanlah maksud asli Allah bagi pernikahan. Menurut Alkitab, hanya ada dua alasan terjadinya perceraian, yaitu karena salah satu dari suami atau isteri terbukti berzinah (Mat 19:9) dan perceraian oleh kematian.
Sesungguhnya Allah sangatlah membenci perceraian, seperti ada tertulis “sebab aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah israel-juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!.
===========================
J i t r o Ati
===========================