Gianyar, Balijani.id – Rencana eksekusi tanah adat seluas 10 are yang akan dilaksanakan pada Sabtu, 26 Februari 2022 yang akan dilakukan masyarakat Desa Adat Tegallinggah dibawah pimpinan Bendesa Desa Adat Tegallinggah, I Ketut Riman mendapat perlawanan Drs. I Dewa Putu Raka Adnyana, M. Si.
Pasalnya, I Dewa Putu Raka sudah mengajukan surat keberatan kepada Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, tertanggal 14 Februari 2022 tapi tidak mendapat jawaban hingga saat ini.
Malahan MDA Provinsi Bali mengeluarkan keputusan untuk eksekusi, seolah-olah MDA merupakan lembaga yang berwenang memutuskan masalah yang berkaitan dengan kasus-kasus tanah.
Adapun dasar dari eksekusi nomor 85/DAT/2020, Nomor 86/DAT/2020: Ke 1, 2 dan 3 dimana menguatkan Keputusan Krama Desa Adat Tegallinggah nomor: 85/DAT/2020 Indik Wicara Karang Ayahan Desa, Ring Jeroan I Dewa Putu Alit (almarhum) Desa Adat Tegallinggah untuk sebagian dengan ketentuan bahwa:
a. Mrajan dan Bale Dangin yang berada di atas pekarangan Jeroan I Dewa Putu Alit (alm) yang ada sekarang dapat dimanfaatkan bersama sesuai dengan fungsi keagamaan dan adat oleh I Dewa Putu Tilem , I Dewa Nyoman Samba, dan Ir. Dewa Putu Raka Adnyana, M.Si.,
b. Mewajibkan I Dewa Putu Tilem selaku pangraksa utawi pangempon (penanggung jawab utama) Merajan dan Bale Dangin yang berada di atas pekarangan Jeroan I Dewa Alit (almarhum) yang ada sekarang memberikan akses jalan dan kesempatan mapunia kepada I Dewa Nyoman Samba dan Ir. I Dewa Putu Raka Adnyana, M.Di., ketika memanfaatkan Mrajan dan Bale Dangin; dan ke 4 sesuai
Putusan nomor 86/DAT/2020 menguatkan Keputusan Krama Desa Adat Tegallinggah Indik Wicara lan Paramidanda Kasisipan Krama Desa Adat Tegallinggah.
” Atas keputusan MDA tersebut, Saya datang ke rumah Bendesa Adat Tegallinggah untuk meminta masalah ini tidak dibawa ke ranah Banjar dan diselesaikan di dalam keluarga. Karena saya tidak setuju adanya pengepahan karang. Di dalam karang tersebut tidak pernah ada masalah. Karena masing-masing saudara saya sudah memiliki karang (tanah, red) dan tidak pernah ada saling mengganggu, “terangnya
Keanehan muncul ketika Bendesa Adat terus menggiringnya ke Banjar, akhirnya ia tidak mendatanginya.
‘Saya ingin selesaikan masalah ini bersama saudara-saudara saya. Apakah prosesnya sudah sesuai hukum? Walaupun ada masalah tapi kita mencoba memendam di dalam hati,” papar Dewa Putu Raka Adnyana.
Polemik ini semakin meruncing menyusul munculnya keputusan MDA Nomor 85 dan 86.
” Yang pertama adalah ketidakhadiran saya ini maka dibuatlah keputusan agar saya membuat upacara meprastise di pempatan agung dan prasista durmenggala. Apabila dalam satu bulan 7 hari saya tidak melakukan hal itu maka swadharma saya ditiadakan,” sesalnya.
Selanjutnya keputusan kedua akan dilakukan ngepah karang (bagi tanah, red). Sedangkan di dalam keputusan itu tidak ada disebutkan adanya butir-butir keputusan pematokan, penembokan dan penyekatan. Begitu juga bangunan yang diukur tidak ada pembongkaran.
Kemudian pihaknya melakukan pengaduan atau mediasi kepada MDA Kecamatan. Maka keluarlah keputusan tidak boleh ada eksekusi sebelum ada keputusan final (incrach) MDA Provinsi.
“Saya ajukan ke MDA Kabupaten Gianyar dan disana juga ditolak karena tidak memenuhi rasa keadilan. Maka dari itu, inti sari dari Keputusan MDA Kabupaten adalah memelihara bersama-sama, menjaga bersama-sama baik Bale Daje, Bale Dangin, Bale Dauh dan menjaga lingkungan bersama-sama.
Selanjutnya keputusan MDA Kabupaten ini ditolak oleh Bendesa Adat Tegallinggah. Lalu ia, Bendesa Adat membawa kasus ini ke MDA Provinsi yang dilanjutkan mediasi beberapa kali. Sehingga kemudian muncullah keputusan nomor 059/MDA-Prov. Bali/I/2022, perihal keputusan Sabha Kerta Majelis Desa Adat Provinsi Bali. Kemudian pada
Pada tanggal 23 Februari 2022 pihaknya diberikan dedauhan (arahan) untuk pertemuan di Wantilan Pura Desa. Ternyata saat itu membicarakan masalahnya. Dalam paruman itu akan dilakukan dan dilaksanakan keputusan MDA Provinsi, yaitu tidak boleh diganggu gugat karena keputusan itu sudah mengikat. Tidak boleh ada lagi tanya jawab atau keberatan dari pihaknya. Tetapi ada salah satu warga yang mengatakan boleh ada tanya jawab karena mempunyai hak untuk berbicara.
Setelah dibaca kemudian pihaknya diminta untuk tidak berbicara oleh Bendesa Adat karena sudah keputusan final.
” Dia menyarankan kalau mau mediasi datang saja ke MDA Provinsi karena tanggal 26 Februari 2022 Warga Banjar Tegallinggah melakukan eksekusi, mematok tanah adat yang saya kini bermukim,” terangnya.
“Sebelumnya, saya sudah mengajukan surat kepada Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali pada tanggal 14 Februari 2022. Yang pada intinya keberatan atas keputusan itu. Setelah itu, hingga tanggal 23 Februari 2022 saat paruman itu dan sampai sekarang surat saya belum dijawab. Sehingga hari ini (Jumat, 25/02/2022/ saya datang ke MDA Provinsi Bali untuk menanyakan perihal surat saya tentang keberatan eksekusi, namun semuanya belum bisa memberikan jawaban,” tutupnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Paiketan Krama Bali, Dodi Arta menyatakan bahwa MDA Provinsi Bali telah melaksanakan keputusan yang tidak adil dan semena-mena.
” Dimana nantinya keputusan ini selain merusak tatanan Desa Adat setempat, juga berpotensi konflik berkepanjangan yang pada akhirnya bisa menimbulkan gejolak terganggunya hubungan kekerabatan dan memecah belah masyarakat setempat”, jelasnya terlebih Ia khawatir akan memicu pemeluk Hindu bisa pindah keyakinan.
“Majelis Desa Adat (MDA) adalah lembaga yang menaungi desa adat harusnya melindungi supaya Bali jangan sampai budaya Bali Sikut Satak ini hilang. Kalau Siku Satak sampai di sekat-sekat dan ditembok maka budaya Bali akan hilang,” Jelasnya
Dia berharap hubungan antar warga masyarakat berjalan harmonis serta lembaga-lembaga terkait seperti MDA baik tingkat Kecamatan, Kabupaten hingga Provinsi menyadari hal ini.
“Dari munculnya kasus-kasus adat ini seharusnya dijadikan sebagai pembelajaran agar jangan terulang lagi kasus-kasus yang sama kedepan. Imbasnya akan banyak warga akan berpindah ke agama lain,” imbuhnya. (003/red)