Denpasar, Balijani.id – Astaga, jalan keluar masuk (pemedal) Pura Dalem Bingin Nambe terlihat ditutup dan disebut-sebut lahannya sudah disertifikatkan. Pura dikabarkan berdiri pada abad ke-18 terletak di Banjar Adat Titih Kaler, Desa Dauh Puri Kangin Denpasar Barat ini pun menjadi tidak memiliki akses jalan.
Keadaan ini menjadi sorotan, bagaimana bisa jalan keluar masuk pura disertifikatkan dan ditembok. Apalagi sudah berdiri gapura (pemedal-red), sedari dahulu jelas dipakai pemedek (umat) untuk akses sembahyang ke pura.
“Keberadaan Pura Dalem Bingin Nambe Titih Denpasar ini telah ada sejak abad ke-18. Pengemponnya ada sekitar 200 KK (Kepala Keluarga) dari Jimbaran, Pemogan, Pagan dan Natah Titih Denpasar,” terang Ketut Gede Muliarta selaku Ketua Pengempon Pura kepada wartawan di Denpasar, Minggu (06/02/2022)
Ketut Gede Muliarta menjelaskan, pura tersebut dibangun oleh Bhatara mepesengan (bernama) I Gusti Ngurah Tamblang Sampun. Pusat dari penataran pura ini disebutkan, ada di Natah Titih dan Kesah ke Jimbaran, dari Jimbaran ke Pemogan lalu ke Pagan.
“Pura ini adalah tempat pemujaan Ida Bhatara Lelangit. Jadi pura ini adalah tempat pemujaan leluhur dari Tamblang Sampun. Pemedek (umat) yang bersembahyang di sini minta kerahayuan (keselamatan) dan kerahajengan (rezeki dan kesehatan),” tuturnya.
Senada dengan itu, Kadek Mariata yang juga sebagai pengempon pura membenarkan, bahwa pura sudah lama berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Ia menegaskan, hal ini bisa dilihat dari level tanah jauh di bawah. Begitu juga, arsitektur candi bentar dikatakan sudah ratusan tahun.
“Waktu saya masih kecil, seingat saya pura ini masuknya dari arah selatan, dari jalan Pulau Ternate. Habis itu tidak tahu, katanya ada perkara gugat menggugat atau apa saya tidak mengerti. Habis itu adalah tembok ini yang menutup pintu utama pura,” ungkapnya.
Kadek Mariata lanjut menyampaikan, patut diduga ada indikasi permainan dalam masalah ini. Bagaimana tidak sebutnya, pura ini sudah ada sejak zaman kerajaan, sekarang katanya negara mengeluarkan putusan bahwa tanah ini milik si A si B si C.
“Yang saya dengar dulu di sini anak laki-laki yang putung atau tidak punya anak. Kemudian dia minta anak. Anaknya ini lalu minta bagian, dan yang diminta bagian di depan pura ini. Setelah dapat tanah ini, atau sebelumnya katanya dia pindah agama. Dan setelah pindah agama lalu ditutuplah jalan ini,” bebernya.
Ia menegaskan persoalan ini akan menjadi masalah serius lantaran yang membangun tembok ini adalah umat lain. Terlebih disampaikan pihak tersebut adalah mantan jaksa. Sebagai salah satu pengempon pura ia minta kepada pengempon dan pemedek untuk melakukan upaya pengayoman hukum.
“Jadi harapan saya, saya minta PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia), Pemerintah, Penegak Hukum bisa melihat ini, agar masalah ini bisa mengkaji menguji data fakta apa yang ada di sini. Saya yakin ini kalau digali, pasti ada yang salah di sini,” harap Kadek Mariata. (001/Red)